KRIMINALISASI KEBIJAKAN
PEJABAT PUBLIK DALAM
HUKUM PIDANA
Oleh:
Abdul
mutalib
Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl.
C Simanjuntak No. 62c Terban Yogyakarta
Zoulzull30@gmail.com
PENDAHULUAN
Tidak
bisa dipungkiri, selama ini persoalan hukum dan kebijakan pejabat publik, lebih-lebih dalam
penyelenggaraan
negara, pemerintah telah berulangkali menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Dalam
konteks demokratisasi, kebijakan publik tidak lain merupakan proses kesepakatan
antara negara atau pemerintah dengan masyarakat umum yang digunakan untuk mengendalikan
praktik penyelenggara negara. Kebijakan pejabat publik lebih dipandang sebagai
proses pengakomodasian kehendak berbagai stakeholder
dalam masyarakat, ketimbang sebagai sebuah produk hukum yang mengikat dan dipaksakan.
Mungkin pemahaman ini akan bertentangan
dengan pengertian konvensional tentang hukum sebagai produk aturan yang
dihasilkan pemerintah yang sah dan dapat dipaksakan pelaksanaannya di
masyarakat.
Disinilah
kemudian hukum menjadi sangat penting untuk dibicarakan kontekstualitasnya,
terutama dalam kaitanya dengan kebijakan pejabat publik sebagai instrument
pengaturan masyarakat. Kepastian hukum harus dapat berdiri dengan mengambil
posisi yang sangat tepat. Artinya, di satu sisi hukum harus tepat memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum, sementara disisi lain ia tidak
boleh menjadikan dirinya sebagai instrument sosial yang kaku. Kemampuan hukum
dalam hal ini, pidana dalam memainkan peran dan mengambil posisi yang tepat
ditengah dinamika masyarakat, menjadikan pembahasan tentang kriminalisasi kebijakan
pejabat publik, dalam
hukum pidana ini, kemudian Pertanyaan
yang muncul, apakah dapat dipidana. Jika demikian, apakah dapat dimintai
pertanggungjawaban, seperti halnya pertanggungjawaban dalam konsep hukum
pidana. Ini menjadi sesuatu hal yang baru dan
menarik untuk dibahas.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk membahas. Apakah kebijakan pejabat publik dapat
dikriminalisasi melalui hukum
pidana? Akan
tetapi memngingat permasalahan ini masih butuh penelitian yang panjang dan
mendalam.
PEMBAHASAN
A.
Kriminalisasi
Pengertian
Kriminalisasi Dalam Perspektif Kebijakan
“Proses
penetapan oleh penguasa atau pemerintah (Negara) melalui undang-undang pidana
terhadap suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan terlarang
menjadi perbuatan terlarang dan dapat dikenai ancaman pidana”
Perspektif Nilai; “Proses
perubahan nilai yang menyebabkan suatu perbuatan yang semula tidak dipandang
sebagai hal tercela dan tidak diancam pidana, menjadi perbuatan yang tercela
(immoral) serta dapat dikenai ancman pidana”
Dilihat
dari pembaharuan hukum pidana, berarti tidak terlepas dari tiga istilah untuk
menentukan, perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana? Dan, sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar? Tiga istilah
itu ialah: (a). Kriminalisasi; proses penetapan suatu perbuatan yang semula
bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karna
perkembangan masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau di muat ke dalam
hukum pidana, artinya tahap terakhir dari proses kriminalisasi adalah
pembentukan hukum pidana. (b). Dekriminalisasi adalah kebalikan dari
kriminalisasi, yaitu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian
karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana, artinya perbuatan
tersebut tidak dianggap jahatlagi oleh masyarakat. (c). Depanalisasi adalah
perbuatan yang dulunya diancam dengan tindak pidana, karena perkembangan
masyarakat, ia dianggap bukan perbuatan yang perlu diancam dengan pidana lagi,
tetapi sifat perbuatannya masih dianggap jahat. Oleh karena itu dalam
depenalisasi ini sifat ancaman pidananya dicarikan pada pidana alternative
lainnya, lantaran bobot kejahatannya berkurang.[1]
Kemudian
penulis sedikit membahas tentang teori Kriminologi dalam aliran klasik juga
aliran positif[2] dan
teori Fautes personalles, teori Fautes de services, yang dalam tulisan
Krenenburg dan Vegting, terhadap pertanggungjawaban pejabat. landasan teori
dalam penelitian ini, sebagai alat untuk menganalisis permasalahan dalam
penelitian ini.
Pertama: asal
mula perkembangan Kriminologi, dari penyelidikan awal pada abad 19 yang
dilakukan oleh Adolphe Quetelet
(1797-1874) yang menghasilkan suatu statistic kesusilaan atau “moral statistic”
(1842). Penyelidikan keduanya dilakukan Lambroso (1853-1909) yang kemudian
disusun dala sebuah buku yang berjidul L’Uomodelinquente (1876). Pada
pertengahan abad 20, ilmu kriminologi telah membawa perubahan pandangan yang
dari semula kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam masyarakat kemudian
mulai mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan
yang berasal dari kekuasaan atau negara sebagai penyebab munculnya kejahatan
dan penjahat baru dalam masyarakat. Hubungan antara kriminologi dengan hukum
pidana ini sedemikian dekat sehingga jika di ibaratkan sebagai “dua sisi di
antara satu mata uang”, dimana hukum pidana hukum pidana pada dasarnya
menciptakan kejahatan (kejahatn formal) dan rumusan dalam hukum pidana itulah yang
menjadi kajian pokok kriminal. Menganalisis dengan menggunakan teori
kriminologi, dalam Aliran Klasik
yang didasarkan pada aliran kriminologi kritis. Landasan pemikiran Aliran
Klasik:
a.
Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi
hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang di
perintah dan yang memerintah.
b.
Kejahatan merupakan
pelanggaran terhadap perjanjian sosial (point a). oleh karena itu kejahatan
bias merupakan kejahatan moral.
c.
Hukuman hanya
dibenarkan selama hukuman itu dijatuhkan untuk memelihara perjanjian sosial.
Oleh karna itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian hari.
Dan,
d.
Setiap orang dianggap
sama di muka hukum.
Aliran Positif
; aliran ini mengakui manusia memiliki akalnya disertai kehendak bebas untuk
menentukan pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak
mereka itu tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungan, dalam hal ini
pemerintah. Secarah sederhana aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa
kehidupan seseorang dikuasai oleh hukum sebab akibat. Landasan pemikiran aliran
positif:
a.
Kehidupan manusia atau
kelompok mayarakat dikuasai oleh hukum sebab akibat
b.
Masalah-masalah sosial
– seperti kejahatan – ketidak sejahteraan dari pemerintah seperti kebijakan
yang merugikan masyarakat, putusan-putusan pengadilan (hakim) yang tidak adil.
c.
Tingkah laku criminal
adalah hasil dari kondisi abnormalitas. Abnormalitas ini mungkin terletak pada
diri individu atau juga pada lingkungannya.
d.
Tanda-tanda
abnormalitas tersebut dapat dibandingkan dengan tanda-tanda yang normal. Sanksi
adalah hukuman yang dibenarkan.
Kedua:
Teori fautes personalles, yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga (masyarakat pada umumnya)
itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Berdasarkan teori ini, beban tanggung jawab
ditujukan pada pejabat selaku pribadi; fautes
de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak
ketiga itu dibebankan kepada institusi dari pejabat yang bersangkutan.
Sedangkan menurut teori yang kedua ini bebban tanggung jawab ditujukan kepada
instansi dari pejabat tersebut.[3]
B.
Kebijakan Pejabat Publik
Kebijakan
dalam istilah bahasa Inggris adalah “policy”
dan “politiek” (Belanda). Kata “policy” ada yang menerjamahkan menjadi
“kebijakan”[4] dan ada
juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan”.[5]
Menurut
Perserikatan Bangsa-bangsa, kebijakan itu sebagai pedoman untuk bertindak.
Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus,
luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat
kualitatif atau kuantitatif, public atau privat. Kebijaksanaan dapat berupa :
1. Suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak,
2. Suatu
arah tindakan tertentu,
3. Suatu
program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (United
Nations, 1975). (Solichin Abdul Wahab, 2001:2).[6]
Menurut
James E. Anderson bahwa kebijakansaan itu adalah Serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kemudian, Jika kita
kaitkan dengan negara dalam hal ini pemerintah.
Menurut, James E. Anderson yaitu “kebijakan-kebijakan yang dikembangkan
oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah”.[7]
David
Easton juga memberikan defenisi kebijakan publik sebagai berikut, yaitu
pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat.
Kemudian menurut Candler dan Plato berpendapat bahwa kebijakan publik
merupakan; suatu bentuk intervensi yang kontinyu oleh pemerintah demi
kepentingan orang-orang banyak terutama yang tidak berdaya dalam masyarakat
agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.[8]
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik
sebagai berikut: "Public
Policy is whatever the government choose to do or not to do". (apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu).
Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentu ada
tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan" pemerintah.
Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan
kebijakan publik, yang tentu juga ada tujuannya.[9]
Dari
berbagai pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa, kebijaksanaan atau kebijakan
negara itu adalah Serangkaian tindakan atau kebijakan-kebijakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, yaitu pengalokasian nilai-nilai secara sah. Yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku, sekelompok pelaku atau seluruh kelompok
masyarakat guna memecahka suatu masalah tertentu.
C.
Pemerintah/Pemerintahan
Secara toritik dan praktik,
terdapat perbedaan antara pemerintah dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah
segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat dan kepentingan negara.[10] Sedangkan pemerintah adalah
organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. [11]
Pemerintah sebagai alat
kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense). Pemerintah dalam arti luas itu mencakup semua
alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang
eksekutif, legislative, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan lain yang
bertindak untuk dan atas nama negara, sedangkan dalam pengertian sempit
pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. [12]
Pemerintah dalam arti sempit
adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau
melaksanakan undang-undang, sedangkan pengertian luas pemerintah mencakup semua
badan yang menyelanggarakan kekuasaan didalam negara baik eksekutif maupun
legislative dan yudikatif.
[13]
Kedudukan Hukum Pemerintah
Pembagian hukm kedalam hukum
public dan hukum privat yang dilakukan oleh ahli hukum Romawi, Ulpianus; ketika
ia menulis “Publicum ius est, quod ad
statum rei romanea spectat, privatum quod ad singulorum utitilatem” (hukum
public adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara Romawi,
sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan), pengaruhnya
cukup besar dalam sejarah pemikiran hukum, sampai sekarang. Salah satuh
pengaruh yang masih terasa hingga sekarang antara lain bahwa kita tidak dapat
menghindarkan diri dari pembagian tersebut, termasuk dalam mengkaji dan memahami kebaradaan pemerintah
dalam melakukan pergaulan hukum.[14]
Dalam perspektif hukum
public, negara adalah organisasi jabatan. menurut Logemann, “dalam bentuk
kenyataan sosialnya, negara adalah organisasi yang berkeanaan dengan berbagai
fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi adalah lingkungan pekerjaan yang terperinci
dalam hubungannya secara keseluruhan. Funsi-fungsi ini dinamakan jabatan.
dengan katalain negara adalah organisasi jabatan”.[15] Menurut Bagir Manan, jabatan
adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu yang
secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Negara
berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi
untuk mencapai tujuan negara.[16]
Pada saat badan hukum public
itu melakukan perbuatan-perbuatan seperti memuat peraturan (regelin), mengeluarkan kebijakan (beleid), menetapkan rencana (hat plan), dan keputusan (beschikking), kedudukannya adalah
sebagai jabatan atau organisasi jabatan yang diatur dan tunduk pada hukum
public. Misalnya dalam hukum privat, ketika badan hukum public terlibat dalam
lalu lintas atau perbuatan keperdataan, ia dilekati dengan kecakapan hukum yang
tunduk dan mengikat diri pada hukum privat.
Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik
Disebutkan lagi dalam
perspektif hukum public negara adalah organisasi jabatan. diantara
jabatan-jabatan kenegaraan ini ada jabatan pemerintahan. Sebagaimana
dikemukakan oleh H.D van Wijlk/Willem Konijnenbelt yang mengatakan; “didalam
hukum mengenai badan hukum, kita mengenal perbedaan antara badan hukum dan
organ-organnya. Badan hukum adalah pendung hak-hak kebendaan. Badan hukum
melakukan perbuatan melalui organ-organnya, yang mewakilinya. Perbedaan antara
badan hukum dengan organ berjalan paralel dengan perbedaan anatara badan umum
dengan organ pemerintahan. Paralelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika
menyangkut hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan umum
(yang digunakan oleh organ pemerintahan).[17]
Meskipun jabatan
pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk
melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan
adalah fisik. Perbuatan hukum jabatan dilakukan melalui perwakilan, yaitu
pejabat. Pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan. Dengan demikian, kedudukan
hukum pemerintah beradasrkan hukum public adalah sebagai wakil dari jabatan
pemerintahan.
Keberadaan pemerintahan yang
secara teoretik memiliki dua fungsi, sebagai wakil dari jabatan dan badan
hukum. Yang masing-masing diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda; hukum
public dan hukum privat. Sering membingungakan bagi kebanyakan orang apalagi
masyarakat awam. Kebingungan ini sekurang kurangnya ada tiga alasan. Pertama, kesukaran menentukan secara
tegas kapan pemerintah bertindak dalam bidang keperdatan, dan kapan pemerintah
bertindak dalam bidang public. Untuk meredahkan kebingungan itu adalah dengan
membahas kewenangan pemerintah.
Kewenangan Pemerintah
Azas Legalitas; Istilah azas legalitas dalam hukum pidana
dinekal “nullum delictum sine praevia lege
poenali” (tidak ada hukum tanpa undang-undang), dan dikenal pula dalam
Hukum Islam yang bertumpu pada ayat “ma
kaana mu’adzibiina hatta nab’atsa rasuula” (kami tidak menjatuhkan siksa
sebelum kami mengutus seorang Rasul), yang selanjutnya dari ayat ini melahirkan
kaidah hukum islam “tidak ada hukum bagi orang-orang berakal sebelum ada
ketentuan nash”.[18]
Azas legalitas ini merupakan salah satu
prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara
hukum dalam sistem Kontinental.pada mulanya azas legalitas dikenal dalam
penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal dengan unkapan, “tidak ada
pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan, “pajak tanpa
(persetujuan) parlemen adalah perampokan”. Ini artinya, penarikan pajak hanya
boleh dilakukan setelah ada undan-undang yang mengatur pemungutan dan penentuan
pajak. Azas ini juga dinamakan dengan kekuasaan undang-undang.[19]
Secara sederhana dapat disimpulkan,
bahwa di luar undang-undang di anggap tidak ada hukum atau bukan hukum. Oleh
karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, azas legalitas dalam gagasan
hukum demokrasi-liberal memliki kedudukan sentral, atau sebagai suatu fundamen
dari negara hukum.
Selanjutnya gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar
rakyat. Azas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan
jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat.
Penerapan azas legalitas,
menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya “kepastian hukum” dan “kesamaan
perlakuan”. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam
situasiseperti yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang itu berhak dan
berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang
tersebut. Sedangkan, kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat
membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau
diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang
berlaku, maka pada asasnya dpat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan
oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian, warga masyarakat
dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut.[20]Artinya penyelenggaraan
pemerintahan yang didasarkan pada azas legalitas, berarti harus didasarkan pada
undang (hukum tertulis).
Pada tulisan, Bagir Manan
menyebutkan adanya kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis, atau adanya
kelemahan dalam hukum tertulis ini berarti pula adanya kelemahan dalam azas
legalitas.[21]
Meskipun azas legalitas
mengandung kelemahan, namun ia tetap menjadi prinsip utama dala setiap negara
hukum. Dengan demikian, substansi azas
legalitas adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu.
Dalam negara hukum, yang menempetkan azas legalitas
sebagai sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan itu
berasal dari peraturan perundang-undangan. Seiring dengan pilar utama negara
hukum, yaitu azas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa
wewenang pemerintahan barasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber
wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undanagan. Secara teorerik,
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh
melalui tiga cara yaitu “atribusi”, “delegasi”, “mandat”:
Ø
Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan undang-undang.
Ø
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
Badan atau jabatan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atribusi
kepada Badan atau jabatan lainnya.
Ø
Pada mandat yaitu pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ
lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya.
Dalam kepustakaan terdapat
pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan yakni terkait, fakulatif dan
bebas terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penertiban
keputusan-keputusan oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan
yang bersifat terikat dan bebas.
Meskipun kepada pemerintahan
diberikan kewenangan bebas, namun dalam suatu negara hukum pada dasarnya tidak
terdapat kebebasan dalam arti seluas-luasnya atau kebebasan tanpa batas. Baik
itu penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada
batas-batas yuridis.
Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah
Pemerintah adalah subjek
hukum, sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum,
pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan
hukum. Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak relevansi dengan
hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum. Sedangkan
tindakan hukum adalah akibat-akibat yang memiliki relevansi dengan hukum.
Bila dikatakan bahwa
tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari
organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum
yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti
kekhilafan, penipuan, paksaan, dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat
hukum tidak sah.
1) perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya
sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan dengan prakarsa dan tanggung
jawab sendiri.
2) perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan funsi
pemerintahan.
3) pebuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan
akibat hukum dibidang hukum.
4) perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.
D.
Apakah
Kebijakan Pejabat Publik Dapat Dikriminalisasi Melalui Hukum Pidana;
Salah
satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa
setiap tinakan hukum individu maupun pemerintah harus berdasarkan perdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang beralaku atau setiap tindakan hukum
individu maupun pemerinta harus berdasarkan kewennagan yang diberikan oleh
undang-undang, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan yang berlaku.
Dalam
perspektif hukum administrasi negara, tindakan hukum pemerintah itu selanjutnya
dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrument hukum dan kebijakan
seperti, peraturan perundang-undangan (regeling),
peraturan kebijakan (beleidsregel),
dan keputusan (beschikking).
Seperti
yang disebutkan diatas mengenai asas legalitas, bahwa dalam tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan. Biasa dikenal dengan “ nullum delictum nulla poena sinepraivie lege” (tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). Artinya dalam hukum pidana
tidak mengatur atau mengenal kebijakan atau sebuah kebijakan puclik dalam hukum
pidana tidak dapat dipidanakan. Akan tetapi, dalam hukum pidana juga dikenal
teori condition sine qua non atau
teori ekuivalensi, bahwa yang
dikatakan dalam teori ini adalah musebab dari suatu keadaan yang dilarang.
Menurut teori ini, setiap syarat adalah sama nilainya.
Jadi
setiap perbuatan atau tindakan hukum pemerintah, diluar dari rambu-rambu hukum
yang telah ditentukan atau patut diduga melwan hukum dan atau melanggar hukum,
yang mengatas namakan negara yang berlindung dibalik kekuasaanya, membuat
kebijakan (yang berhubungan dengan percepatan sebuah anggaran dari APBD atau
APBN) yang bisa
merugikan negara atau masyarakat umumnya (missal; korupsi, TPPU dll) adalah
sebab yang dapat dipidanakan.
Kemudian
dalam teori fautes personalles, dan fautes de services. Pertama,
teori fautes personalles yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga (masyarakat pada umumnya)
itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Berdasarkan teori ini, beban tanggung jawab ditujukan pada pejabat
selaku pribadi yang mengeluarkan kebijakan. Selanjutnya, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan
bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada institusi dari
pejabat yang bersangkutan. Teori yang kedua ini beban tanggung jawab ditujukan
kepada instansi dari pejabat tersebut.
Jadi,
pejabat yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan
atau pun tindakan dan atas nama jabatan. meskipun mempunyai kebebasan dalam
melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat
membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya, dan ia dapat
dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya (secara
administrasi) baru setelah itu melalui jalur pidana.
Penutup
v
Dalam hukum pidana, pada prinsipnya kebijakan pejabat public tidak dapat
dikriminalisasikan atau dijadikan sebagai delik kejahatan.
v
Namun
masalah kebijakan pejabat publik
public, sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bila dikatakan bahwa tindakan hukum
pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan
dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka
kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan,
penipuan, paksaan, dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum tidak
sah. Dengan dasar pertimbangan analisa yang jauh dari sempurnah penulis
menyimpulakan, bahwa dapat
dikriminalisasikan jika perbuatan tersebut benar-benar terindikasih ada
pelanggaran atau melawan hukum yang
menimbulkan akibat hukum.
v
Sebagaimana
Prajudi Atmosudirdjo[23]menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:
a.
Efektivitas,
artinya kegiatannya harus mengenai sasaran yang telah ditetapkan.
b.
Legimitas,
artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh
karena tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat atau lingkungan yang
bersangkutan.
c.
Yuridikitas,
adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat daministrasi negara
tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
d.
Legalitas,
adalah syarat yang menyatakan perbuatan atau keputusan administrasi negara yang
tidak boleh dilakukan tanpa dasar undang-undang (tertulis) dalam arti luas;
bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat”, maka kedaruratan itu
wajib dibuktikan kemudian; jika kemudian tidak terbukti, maka perbuatan
tersebut dapat digugat kepengadilan.
e.
Moralitas adalah
salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethic
umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap
kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya
wajib dihindarkan.
f.
Efisiensi wajib
dikejar seoptimal mungkin; kehematan
biaya dan produktifitas wajib diusahakan setinggi-tingginya.
g.
Teknik dan
teknologi yang setinggi-tingginya
wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang
sebaik-baiknya.
Daftar Pustaka
Abdul Kholiq. Materi kuliah “hukum
pidana dan kebijakan public”, “Samodra
Wibawa, 1994; Muhadjir Darwin, 1998
Andi hamzah. “Hukum Acara Pidana Indoneia” Sinar
Grafika, Jakarta. 2001
Budi
winarno. MA, Phd. “kebujakan Publik”. CAPS(center Of Academic Publishing
service). Yogyakarta. 2014
M. Irfan Islamy, 2001:19, dikutip
dari James E. Anderson.
Riant Nugroho.”Public Polcy” elex
media komputindo. Jakarta. 2008.
Ridwan
HR. “Hukum Administrasi Negara” edisi revisi. Rajagrafindo Persad. Jakarta.
2014
Romli
Atmasasmita, “Sistem Peradilan Pidana Konteporer”, Kencana, Jakarta,
2011.
Romli
Atmasasmita, SH., LL.M “ Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Rafika Aditama.
Bandung, 2013.
Salman Luthan. Materi kuliah
“hukum pidana dan kebijakan public”.
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan. Universitas Islam Indonesia. 2015.
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Leberty.
Yogyakarta. 2002
Syaiful Bakhri. “Sistem
Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perpektif Pembaruan, Teori, dan Praktik
Peradilan”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. 2014
Teguh Prasetyo, S.H., M.Si.
“Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”. Nusa Media. Bandung. 2013
[1] Teguh
Prasetyo, S.H., M.Si. “Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”. Nusa Media. Bandung.
2013. Hlm. 32-33
[2] Romli
Atmasasmita, SH., LL.M “ Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Rafika Aditama.
Bandung, 2013. Hlm. 10-11
[3] Ridwan
HR. “Hukum Administrasi Negara” edisi revisi. Rajagrafindo Persad. Jakarta.
2014 Hlm. 345
[4] Abdul Kholiq. Materi
kuliah “hukum pidana dan kebijakan public”, “Samodra Wibawa, 1994; Muhadjir Darwin, 1998
[5] Ibid., M. IrfanIslamy, 2001; Abdul Wahab,
1990
[6] Salman Luthan. Materi
kuliah “hukum pidana dan kebijakan public”. Baca juga.. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan.
Bahwa kebijaksanaan sebagai “a projected program of goals, values and
practices”( program ttg keadaan yang akan dating untuk tercapainya suatu tujuan, yang sesuai dengan nilai-nilai dan praktik atau fakta yang hidup) Power and Society, New
Haven: Yale University Press, 1970, hal.71 Universitas Islam Indonesia. 2015.
[7] Ibid., M. Irfan Islamy, 2001:19, dikutip dari James E. Anderson,
op.cit., hal. 3
[9] winarno. MA, Phd. “kebujakan Publik”. CAPS(center Of
Academic Publishing service). Yogyakarta. 2014. hlm.20
[11] Ibid.,Ridwan HR. dalam kepustakaan, istilah pemerintah
disebut memiliki dua pengertian yaitu sebagai fungsi dan sebagai organisasi.
Pemerintah sebagai fungsi-yakni aktivitas-memerintah adalah melaksanakan
tugas-tugas pemerintah. Dalam istilah Donner; penyelenggara kepentingan umum
oleh dinas public. Sedangkan pemerintah sebagai organisasi adalah ku,pulan
organ-organ dari organisasi pemerintahan yang dibebani dengan melaksanakan
tugas pemerintah. Kemudian menurut Soehardjo, pemerintahan sebagia organisasi
bilamana kita mempelajari ketentuan-ketentuan susunan organisasi, termasuk
didalamnya fungsi, penugasan, kewenangan dan kewajiban masing-masing departemen
pemerintahan, badan-badan instansi serta dinas-dinas pemerintahan. Sebagai
fungsi kita meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur apa dan cara tindakan
aparatur pemerintahan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
[12] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, “Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia”, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 158-159
[13]SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukmu
Administrasi Negara”, Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm. 8
[15]Logemann, “Over The Theorie van een Stelling
Staatsrecht”, Jakarta: Saksama, 1954, hlm.88
[16]Bagir Manan, “Pengisian jabatan Presiden Melalui
(dengan) Pemilihan Langsung”, Makalah, hlm. 1
[23]Prajudi
Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981,
hlm. 79-80