Sabtu, 05 November 2016

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK DALAM HUKUM PIDANA



KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK DALAM HUKUM PIDANA
Oleh:
Abdul mutalib
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. C Simanjuntak No. 62c Terban Yogyakarta
Zoulzull30@gmail.com
PENDAHULUAN
Tidak bisa dipungkiri, selama ini persoalan hukum dan kebijakan pejabat publik, lebih-lebih dalam penyelenggaraan negara, pemerintah telah berulangkali menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Dalam konteks demokratisasi, kebijakan publik tidak lain merupakan proses kesepakatan antara negara atau pemerintah dengan masyarakat umum yang digunakan untuk mengendalikan praktik penyelenggara negara. Kebijakan pejabat publik lebih dipandang sebagai proses pengakomodasian kehendak berbagai stakeholder dalam masyarakat, ketimbang sebagai sebuah produk hukum yang mengikat dan dipaksakan. Mungkin pemahaman ini  akan bertentangan dengan pengertian konvensional tentang hukum sebagai produk aturan yang dihasilkan pemerintah yang sah dan dapat dipaksakan pelaksanaannya di masyarakat.
Disinilah kemudian hukum menjadi sangat penting untuk dibicarakan kontekstualitasnya, terutama dalam kaitanya dengan kebijakan pejabat publik sebagai instrument pengaturan masyarakat. Kepastian hukum harus dapat berdiri dengan mengambil posisi yang sangat tepat. Artinya, di satu sisi hukum harus tepat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum, sementara disisi lain ia tidak boleh menjadikan dirinya sebagai instrument sosial yang kaku. Kemampuan hukum dalam hal ini, pidana dalam memainkan peran dan mengambil posisi yang tepat ditengah dinamika masyarakat, menjadikan pembahasan tentang kriminalisasi kebijakan pejabat publik, dalam hukum pidana ini, kemudian Pertanyaan yang muncul, apakah dapat dipidana. Jika demikian, apakah dapat dimintai pertanggungjawaban, seperti halnya pertanggungjawaban dalam konsep hukum pidana. Ini menjadi sesuatu hal yang baru dan menarik untuk dibahas.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk membahas. Apakah kebijakan pejabat publik dapat dikriminalisasi melalui hukum pidana? Akan tetapi memngingat permasalahan ini masih butuh penelitian yang panjang dan mendalam.

PEMBAHASAN
A.           Kriminalisasi
Pengertian Kriminalisasi Dalam Perspektif Kebijakan
“Proses penetapan oleh penguasa atau pemerintah (Negara) melalui undang-undang pidana terhadap suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan terlarang menjadi perbuatan terlarang dan dapat dikenai ancaman pidana”
Perspektif Nilai; “Proses perubahan nilai yang menyebabkan suatu perbuatan yang semula tidak dipandang sebagai hal tercela dan tidak diancam pidana, menjadi perbuatan yang tercela (immoral) serta dapat dikenai ancman pidana”
Dilihat dari pembaharuan hukum pidana, berarti tidak terlepas dari tiga istilah untuk menentukan, perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana? Dan, sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar? Tiga istilah itu ialah: (a). Kriminalisasi; proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karna perkembangan masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau di muat ke dalam hukum pidana, artinya tahap terakhir dari proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana. (b). Dekriminalisasi adalah kebalikan dari kriminalisasi, yaitu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana, artinya perbuatan tersebut tidak dianggap jahatlagi oleh masyarakat. (c). Depanalisasi adalah perbuatan yang dulunya diancam dengan tindak pidana, karena perkembangan masyarakat, ia dianggap bukan perbuatan yang perlu diancam dengan pidana lagi, tetapi sifat perbuatannya masih dianggap jahat. Oleh karena itu dalam depenalisasi ini sifat ancaman pidananya dicarikan pada pidana alternative lainnya, lantaran bobot kejahatannya berkurang.[1]
Kemudian penulis sedikit membahas tentang teori Kriminologi dalam aliran klasik juga aliran positif[2] dan teori Fautes personalles, teori Fautes de services, yang dalam tulisan Krenenburg dan Vegting, terhadap pertanggungjawaban pejabat. landasan teori dalam penelitian ini, sebagai alat untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini.
Pertama: asal mula perkembangan Kriminologi, dari penyelidikan awal pada abad 19 yang dilakukan oleh Adolphe Quetelet (1797-1874) yang menghasilkan suatu statistic kesusilaan atau “moral statistic” (1842). Penyelidikan keduanya dilakukan Lambroso (1853-1909) yang kemudian disusun dala sebuah buku yang berjidul L’Uomodelinquente (1876). Pada pertengahan abad 20, ilmu kriminologi telah membawa perubahan pandangan yang dari semula kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan yang berasal dari kekuasaan atau negara sebagai penyebab munculnya kejahatan dan penjahat baru dalam masyarakat. Hubungan antara kriminologi dengan hukum pidana ini sedemikian dekat sehingga jika di ibaratkan sebagai “dua sisi di antara satu mata uang”, dimana hukum pidana hukum pidana pada dasarnya menciptakan kejahatan (kejahatn formal) dan rumusan dalam hukum pidana itulah yang menjadi kajian pokok kriminal. Menganalisis dengan menggunakan teori kriminologi, dalam Aliran Klasik yang didasarkan pada aliran kriminologi kritis. Landasan pemikiran Aliran Klasik:
a.         Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang di perintah dan yang memerintah.
b.        Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial (point a). oleh karena itu kejahatan bias merupakan kejahatan moral.
c.         Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu dijatuhkan untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh karna itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian hari. Dan,
d.        Setiap orang dianggap sama di muka hukum.
Aliran Positif ; aliran ini mengakui manusia memiliki akalnya disertai kehendak bebas untuk menentukan pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungan, dalam hal ini pemerintah. Secarah sederhana aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang dikuasai oleh hukum sebab akibat. Landasan pemikiran aliran positif:
a.         Kehidupan manusia atau kelompok mayarakat dikuasai oleh hukum sebab akibat
b.        Masalah-masalah sosial – seperti kejahatan – ketidak sejahteraan dari pemerintah seperti kebijakan yang merugikan masyarakat, putusan-putusan pengadilan (hakim) yang tidak adil.
c.         Tingkah laku criminal adalah hasil dari kondisi abnormalitas. Abnormalitas ini mungkin terletak pada diri individu atau juga pada lingkungannya.
d.        Tanda-tanda abnormalitas tersebut dapat dibandingkan dengan tanda-tanda yang normal. Sanksi adalah hukuman yang dibenarkan.
Kedua: Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga (masyarakat pada umumnya) itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Berdasarkan teori ini, beban tanggung jawab ditujukan pada pejabat selaku pribadi; fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada institusi dari pejabat yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori yang kedua ini bebban tanggung jawab ditujukan kepada instansi dari pejabat tersebut.[3]
B.            Kebijakan Pejabat Publik
Kebijakan dalam istilah bahasa Inggris adalah “policy” dan “politiek” (Belanda). Kata “policy” ada yang menerjamahkan menjadi “kebijakan”[4] dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan”.[5]
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, kebijakan itu sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, public atau privat. Kebijaksanaan dapat berupa :
1.    Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak,
2.    Suatu arah tindakan tertentu,
3.    Suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (United Nations, 1975). (Solichin Abdul Wahab, 2001:2).[6]
Menurut James E. Anderson bahwa kebijakansaan itu adalah Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kemudian, Jika kita kaitkan dengan negara dalam hal ini pemerintah.  Menurut, James E. Anderson yaitu “kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah”.[7]
David Easton juga memberikan defenisi kebijakan publik sebagai berikut, yaitu pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat. Kemudian menurut Candler dan Plato berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan; suatu bentuk intervensi yang kontinyu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang banyak terutama yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.[8]
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: "Public Policy is whatever the government choose to do or not to do". (apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentu ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan kebijakan publik, yang tentu juga ada tujuannya.[9]
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa, kebijaksanaan atau kebijakan negara itu adalah Serangkaian tindakan atau kebijakan-kebijakan yang mempunyai tujuan tertentu yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, yaitu pengalokasian nilai-nilai secara sah. Yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku, sekelompok pelaku atau seluruh kelompok masyarakat guna memecahka suatu masalah tertentu.
C.           Pemerintah/Pemerintahan
Secara toritik dan praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.[10] Sedangkan pemerintah adalah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. [11]
Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense). Pemerintah dalam arti luas itu mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang eksekutif, legislative, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan lain yang bertindak untuk dan atas nama negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. [12]
Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan pengertian luas pemerintah mencakup semua badan yang menyelanggarakan kekuasaan didalam negara baik eksekutif maupun legislative dan yudikatif. [13]
Kedudukan Hukum Pemerintah
Pembagian hukm kedalam hukum public dan hukum privat yang dilakukan oleh ahli hukum Romawi, Ulpianus; ketika ia menulis “Publicum ius est, quod ad statum rei romanea spectat, privatum quod ad singulorum utitilatem” (hukum public adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara Romawi, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan), pengaruhnya cukup besar dalam sejarah pemikiran hukum, sampai sekarang. Salah satuh pengaruh yang masih terasa hingga sekarang antara lain bahwa kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembagian tersebut, termasuk  dalam mengkaji dan memahami kebaradaan pemerintah dalam melakukan pergaulan hukum.[14]
Dalam perspektif hukum public, negara adalah organisasi jabatan. menurut Logemann, “dalam bentuk kenyataan sosialnya, negara adalah organisasi yang berkeanaan dengan berbagai fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi adalah lingkungan pekerjaan yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan. Funsi-fungsi ini dinamakan jabatan. dengan katalain negara adalah organisasi jabatan”.[15] Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara.[16]
Pada saat badan hukum public itu melakukan perbuatan-perbuatan seperti memuat peraturan (regelin), mengeluarkan kebijakan (beleid), menetapkan rencana (hat plan), dan keputusan (beschikking), kedudukannya adalah sebagai jabatan atau organisasi jabatan yang diatur dan tunduk pada hukum public. Misalnya dalam hukum privat, ketika badan hukum public terlibat dalam lalu lintas atau perbuatan keperdataan, ia dilekati dengan kecakapan hukum yang tunduk dan mengikat diri pada hukum privat.
Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik
Disebutkan lagi dalam perspektif hukum public negara adalah organisasi jabatan. diantara jabatan-jabatan kenegaraan ini ada jabatan pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan oleh H.D van Wijlk/Willem Konijnenbelt yang mengatakan; “didalam hukum mengenai badan hukum, kita mengenal perbedaan antara badan hukum dan organ-organnya. Badan hukum adalah pendung hak-hak kebendaan. Badan hukum melakukan perbuatan melalui organ-organnya, yang mewakilinya. Perbedaan antara badan hukum dengan organ berjalan paralel dengan perbedaan anatara badan umum dengan organ pemerintahan. Paralelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika menyangkut hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan umum (yang digunakan oleh organ pemerintahan).[17]
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan adalah fisik. Perbuatan hukum jabatan dilakukan melalui perwakilan, yaitu pejabat. Pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah beradasrkan hukum public adalah sebagai wakil dari jabatan pemerintahan.
Keberadaan pemerintahan yang secara teoretik memiliki dua fungsi, sebagai wakil dari jabatan dan badan hukum. Yang masing-masing diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda; hukum public dan hukum privat. Sering membingungakan bagi kebanyakan orang apalagi masyarakat awam. Kebingungan ini sekurang kurangnya ada tiga alasan. Pertama, kesukaran menentukan secara tegas kapan pemerintah bertindak dalam bidang keperdatan, dan kapan pemerintah bertindak dalam bidang public. Untuk meredahkan kebingungan itu adalah dengan membahas kewenangan pemerintah.
Kewenangan Pemerintah
Azas Legalitas; Istilah azas legalitas dalam hukum pidana dinekal “nullum delictum sine praevia lege poenali” (tidak ada hukum tanpa undang-undang), dan dikenal pula dalam Hukum Islam yang bertumpu pada ayat “ma kaana mu’adzibiina hatta nab’atsa rasuula” (kami tidak menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seorang Rasul), yang selanjutnya dari ayat ini melahirkan kaidah hukum islam “tidak ada hukum bagi orang-orang berakal sebelum ada ketentuan nash”.[18]
 Azas legalitas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental.pada mulanya azas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal dengan unkapan, “tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan, “pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah perampokan”. Ini artinya, penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah ada undan-undang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. Azas ini juga dinamakan dengan kekuasaan undang-undang.[19]
Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa di luar undang-undang di anggap tidak ada hukum atau bukan hukum. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, azas legalitas dalam gagasan hukum demokrasi-liberal memliki kedudukan sentral, atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum.
Selanjutnya gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Azas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat.
Penerapan azas legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya “kepastian hukum” dan “kesamaan perlakuan”. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasiseperti yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Sedangkan, kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada asasnya dpat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian, warga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut.[20]Artinya penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada azas legalitas, berarti harus didasarkan pada undang (hukum tertulis).
Pada tulisan, Bagir Manan menyebutkan adanya kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis, atau adanya kelemahan dalam hukum tertulis ini berarti pula adanya kelemahan dalam azas legalitas.[21]
Meskipun azas legalitas mengandung kelemahan, namun ia tetap menjadi prinsip utama dala setiap negara hukum. Dengan demikian, substansi  azas legalitas adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.
Dalam negara hukum, yang menempetkan azas legalitas sebagai sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-undangan. Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu azas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan barasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undanagan. Secara teorerik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu “atribusi”, “delegasi”, “mandat”:
Ø  Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan undang-undang.
Ø  Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau jabatan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atribusi kepada Badan atau jabatan lainnya.
Ø  Pada mandat yaitu pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya.
Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan yakni terkait, fakulatif dan bebas terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penertiban keputusan-keputusan oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas.
Meskipun kepada pemerintahan diberikan kewenangan bebas, namun dalam suatu negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti seluas-luasnya atau kebebasan tanpa batas. Baik itu penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang,  maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batas-batas yuridis.
Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah
Pemerintah adalah subjek hukum, sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai  tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum. Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak relevansi dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum. Sedangkan tindakan hukum adalah akibat-akibat yang memiliki relevansi dengan hukum.
Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan, penipuan, paksaan, dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum tidak sah.
Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut[22]:
1)    perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
2)    perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan funsi pemerintahan.
3)    pebuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum.
4)    perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
D.            Apakah Kebijakan Pejabat Publik Dapat Dikriminalisasi Melalui Hukum Pidana;
Salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tinakan hukum individu maupun pemerintah harus berdasarkan perdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang beralaku atau setiap tindakan hukum individu maupun pemerinta harus berdasarkan kewennagan yang diberikan oleh undang-undang, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan yang berlaku.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, tindakan hukum pemerintah itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrument hukum dan kebijakan seperti, peraturan perundang-undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel), dan keputusan (beschikking).
Seperti yang disebutkan diatas mengenai asas legalitas, bahwa dalam tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasa dikenal dengan “ nullum delictum nulla poena sinepraivie lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). Artinya dalam hukum pidana tidak mengatur atau mengenal kebijakan atau sebuah kebijakan puclik dalam hukum pidana tidak dapat dipidanakan. Akan tetapi, dalam hukum pidana juga dikenal teori condition sine qua non atau teori ekuivalensi, bahwa yang dikatakan dalam teori ini adalah musebab dari suatu keadaan yang dilarang. Menurut teori ini, setiap syarat adalah sama nilainya.
Jadi setiap perbuatan atau tindakan hukum pemerintah, diluar dari rambu-rambu hukum yang telah ditentukan atau patut diduga melwan hukum dan atau melanggar hukum, yang mengatas namakan negara yang berlindung dibalik kekuasaanya, membuat kebijakan (yang berhubungan dengan percepatan sebuah anggaran dari APBD atau APBN) yang bisa merugikan negara atau masyarakat umumnya (missal; korupsi, TPPU dll) adalah sebab yang dapat dipidanakan.
Kemudian dalam teori fautes personalles, dan fautes de services. Pertama, teori fautes personalles yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga (masyarakat pada umumnya) itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Berdasarkan teori ini, beban tanggung jawab ditujukan pada pejabat selaku pribadi yang mengeluarkan kebijakan. Selanjutnya, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada institusi dari pejabat yang bersangkutan. Teori yang kedua ini beban tanggung jawab ditujukan kepada instansi dari pejabat tersebut.
Jadi, pejabat yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan atau pun tindakan dan atas nama jabatan. meskipun mempunyai kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya (secara administrasi) baru setelah itu melalui jalur pidana.

Penutup
v   Dalam hukum pidana, pada prinsipnya kebijakan pejabat public tidak dapat dikriminalisasikan atau dijadikan sebagai delik kejahatan.
v   Namun masalah kebijakan pejabat publik public, sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan, penipuan, paksaan, dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum tidak sah. Dengan dasar pertimbangan analisa yang jauh dari sempurnah penulis menyimpulakan, bahwa dapat dikriminalisasikan jika perbuatan tersebut benar-benar terindikasih ada pelanggaran atau melawan hukum yang menimbulkan akibat hukum.
v   Sebagaimana Prajudi Atmosudirdjo[23]menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:
a.         Efektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran yang telah ditetapkan.
b.        Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan.
c.         Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat daministrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
d.        Legalitas, adalah syarat yang menyatakan perbuatan atau keputusan administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa dasar undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat”, maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian; jika kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat kepengadilan.
e.         Moralitas adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethic umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan.
f.         Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan  biaya dan produktifitas wajib diusahakan setinggi-tingginya.
g.        Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya.

Daftar Pustaka
Abdul Kholiq. Materi kuliah “hukum pidana dan kebijakan public”, “Samodra Wibawa, 1994; Muhadjir Darwin, 1998
Andi hamzah. “Hukum Acara Pidana Indoneia Sinar Grafika, Jakarta. 2001
Budi winarno. MA, Phd. “kebujakan Publik”. CAPS(center Of Academic Publishing service). Yogyakarta. 2014
M. Irfan Islamy, 2001:19, dikutip dari James E. Anderson.
Riant Nugroho.”Public Polcy” elex media komputindo. Jakarta. 2008.
Ridwan HR. “Hukum Administrasi Negara” edisi revisi. Rajagrafindo Persad. Jakarta. 2014
Romli Atmasasmita, “Sistem Peradilan Pidana Konteporer”, Kencana, Jakarta, 2011.
Romli Atmasasmita, SH., LL.M “ Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Rafika Aditama. Bandung, 2013.
Salman Luthan. Materi kuliah “hukum  pidana dan kebijakan public”. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan. Universitas Islam Indonesia. 2015.
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Leberty. Yogyakarta. 2002
Syaiful Bakhri. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perpektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2014       
Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. “Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”. Nusa Media. Bandung. 2013





[1] Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. “Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”. Nusa Media. Bandung. 2013. Hlm. 32-33
[2] Romli Atmasasmita, SH., LL.M “ Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Rafika Aditama. Bandung, 2013. Hlm. 10-11
[3] Ridwan HR. “Hukum Administrasi Negara” edisi revisi. Rajagrafindo Persad. Jakarta. 2014 Hlm. 345
[4] Abdul Kholiq. Materi kuliah “hukum pidana dan kebijakan public”, “Samodra Wibawa, 1994; Muhadjir Darwin, 1998
[5] Ibid., M. IrfanIslamy, 2001; Abdul Wahab, 1990
[6] Salman Luthan. Materi kuliah “hukum  pidana dan kebijakan public”. Baca  juga.. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan. Bahwa kebijaksanaan sebagai “a projected program of goals, values and practices”( program ttg keadaan yang akan dating untuk tercapainya suatu tujuan, yang sesuai dengan nilai-nilai dan praktik atau fakta yang hidup) Power and Society, New Haven: Yale University Press, 1970, hal.71 Universitas Islam Indonesia. 2015.
[7] Ibid., M. Irfan Islamy, 2001:19, dikutip dari James E. Anderson, op.cit., hal. 3
[8] Riant Nugroho.”Public Polcy” elex media komputindo. Jakarta. 2008. Hlm 93
[9] winarno. MA, Phd. “kebujakan Publik”. CAPS(center Of Academic Publishing service). Yogyakarta. 2014. hlm.20
[10] Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 30
[11] Ibid.,Ridwan HR. dalam kepustakaan, istilah pemerintah disebut memiliki dua pengertian yaitu sebagai fungsi dan sebagai organisasi. Pemerintah sebagai fungsi-yakni aktivitas-memerintah adalah melaksanakan tugas-tugas pemerintah. Dalam istilah Donner; penyelenggara kepentingan umum oleh dinas public. Sedangkan pemerintah sebagai organisasi adalah ku,pulan organ-organ dari organisasi pemerintahan yang dibebani dengan melaksanakan tugas pemerintah. Kemudian menurut Soehardjo, pemerintahan sebagia organisasi bilamana kita mempelajari ketentuan-ketentuan susunan organisasi, termasuk didalamnya fungsi, penugasan, kewenangan dan kewajiban masing-masing departemen pemerintahan, badan-badan instansi serta dinas-dinas pemerintahan. Sebagai fungsi kita meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur apa dan cara tindakan aparatur pemerintahan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
[12] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, “Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia”, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 158-159
[13]SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukmu Administrasi Negara”, Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm. 8
[14] Op.cit. Ridwan HR, hlm. 69
[15]Logemann, “Over The Theorie van een Stelling Staatsrecht”, Jakarta: Saksama, 1954, hlm.88
[16]Bagir Manan, “Pengisian jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung”, Makalah, hlm. 1
[17]Op.cit. Ridwan HR, hlm. 72-73
[18]Ibid.,Ridwan HR, hlm. 91
[19]Ibid.,Ridwan HR, hlm. 91-92
[20]Ibid.,Ridwan HR, hlm. 94-95
[21]Ibid.,Ridwan HR, hlm. 96
[22] Ibid.,Ridwan HR, hlm. 112-113
[23]Prajudi Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hlm. 79-80