KUMPUL KEBO, AGAMA DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
(Pasal
485 RUU KUHP Tentang Hidup Bersama Sebagai Suami Istri Di Luar Perkawinan Yang
Sah)
Oleh:
Abdul
mutalib
Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. C
Simanjuntak No. 62c Terban Yogyakarta
Zoulzull30@gmail.com
PENDAHULUAN
Latar Belakang yang mendorong saya menulis dan mengangkat soal topik
di atas adalah tulisan ini berbicara tentang norma atau
nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat kita, yang masih kuat. Sangat wajar tradisi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
selalu tercermin. Bangsa
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupannya
sehari-hari kini mulai mempersoalkan timbulnya fenomena dalam kehidupan
bermasyarakat yaitu berupa penyimpangan kehidupan di bidang kejahatan seksual.
Penyimpangan kesusilaan itu salah satunya adalah hidup bersama tanpa adanya
suatu ikatan perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan wanita yang kita
kenal dengan istilah kumpul kebo.[1]
Dalam masyarakat Indonesia kumpul kebo atau hidup bersama tanpa sebuah ikatan yang
sah, ini hampir sebagian besar
kumpul kebo terjadi pada daerah perkotaan atau metropolitan. Sedangkan kumpul
kebo di desa sangat kecil terjadi,
salah satu faktor karena masih kuatnya
tradisi dan norma yang berlaku disetiap desa. Dari masalah sosial ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kitap Hukum Pidana
(RUU KUHP) Bagian Keempat “Zina dan Perbuatan Cabul” pasal 485,
yaitu:
“Setiap orang yang melakukan hidup
bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II
(Rp. 30juta).”
Dengan
RUU KUHP ini di harapkan
penyakit sosial
masyarakat tentang kumpul
kebo dapat diatasi di masyarakat. Walaupun baru tahap rancangan undang-undang ini,
terdapat pro dan kontra di masyarakat. Rancangan Undang-undang ini semua
komponen terlibat diantaranya tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak-pihak
yang berkompoten. Usaha pembaharuan KUHP atau kebijakan
pembaharu untuk “mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu perbuatan yang semula
tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak
kriminal) diantaranya kriminalisasi kumpul kebo.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka ada beberapa point
yang akan dibahas. Diantaranya mengenai; 1. Apa tantangan, peluang dan
konstruksi formulasi (gagasan) dalam kebijakan RUU KUHP pasal 485 tentang
kumpul kebo?
Pembaharuan Hukum
Pidana.
Dalam kepustakaan hukum pidana menurut alam pemikiran
yang normative murni maka pembicaraab tentang pidana akan selalu terbentur pada
suatu titik pertentangan yang paradoxal yaitu bahwa pidana disatu pihak
diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi pihak lain
ternyata memperkosa kepentingan seseorang yang lain dengan memberikan hkuman
berupa penderitaan kepada orang tersebut.
Selanjutnya sejumlah kepustakaan hukum yang menganut
aliran positivism ini dalam hukum pidana telah mulai memperhatikan dan
memperjuangkan hubungan antara hukum pidana dengan manusia dalam masyarakat
sebagai obyek, sehingga harus diperhitungkan factor-faktor apa yang ada di
dalam atau disekitar diri manusia.
Hubungan antara hukum pidana dengan manusia yang
demikian itu ditandai dengan berbagai macam kritik (dari berbagai aliran;
aliran klasik, kriminologis, dan aliran sosiologis/ aliran klasik dan aliran
modern) terhadap hukum pidana yang dipandang kaku. Bahwa hukum pidana seharus
melihat atau lebih maju kedepan dengan melihat keadaan-keadaan sekarang.
Sehubungan dengan itu, pada pokoknya terdapat tiga
butir utama pertentangan mengenai persoalan kebebasan manusia untuk menentukan
kehendaknya, sampai dimana pertanggung-jawaban atau kesalahan manusia, dan
kapan sanksi pidana dapat diterapkan kepada manusia yang dinyatakan melanggar
hukum pidana.
Manfaat kritikan maupun pertentanganaliran tersebut
terasa sampai saat ini sabagaimana dalam penyusunan kitap undang-undang hukum
pidana dengan masuknya pasal 485 tentang kumpul kebo.
Jadi sejak hukum pidana menerima pengaruh dari
kritinkan ataupun pertentangan antara aliran atau pengaruh aliran modern, maka
titik berat perhatian kepada manusia yang melakukan perbuatan yang oleh
masyarakat dalah perbuatan tercela/immoral, dan dalam penerapannya tidak dapat
dihindarkan penghargaan kepada manusia guna menjunjung tinggi martabat manusia.
Pembaharuan
hukum pidana sering disebut atau di-identikkan dengan istilah “Politik Hukum
Pidana/Kebijakan Hukum Pidana” (Penal
Policy/Strafrechts Politiek) atau dengan kata lain, pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana.[2]
Mengkaji
kebijakan hukum pidana/politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum.[3]
menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan
peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dengan
dasar itu, Prof. Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan
negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[4]
Kemudian
secara sederhana menurut Dr. Ni’matul Huda, politik hukum adalah kebijakan
negara yang dituangkan dalam undang-undang yang dipakai secara nasional dan berbicara
desain hukum kedepan.[5]
Sebelum
membahas lebih lanjut tentang pembaharuan hukum pidana, perlu terlebih dahulu
dipahami apa yang dimaksud dengan pembaharuan (reform) itu sendiri, yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi
dan reformasi terhadap sesuatu hal yang akan di tempuh melalui kebijakan,
artinya harus dilakukan dengan
pendekatan kebijakan.
Sedangkan
hukum pidana itu sendiri menurut Pompe, dengan membandingkan hukum pidana
dengan hukum tata negara, hukum perdata dengan bidang hukum lainnya, bahwa
hukum pidan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit
banyaknya bersifat umum yang terdiri dari keadaan konkret, abstrak dan
aturan-aturan. Namun apa yang disampaikan oleh Pompe terlalu sumir.[6]
Kemudian,
dikemukakan oleh Moeljatno yang menyatakan bahwa hukum pidana; bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang
disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi
pidana dan dengan cara sebagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.[7] Jadi, hukum pidana sebagai aturan hukum
dari suatu negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan
yang diperintahkan, disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang
tidak mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan
bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuanya dipaksa oleh negara.
Dengan demikian ini meliputi baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana
formil.
Berkaitan dengan
masalah pembaharuan hukum pidana, menurut Prof. Barda Nawawi Arif yaitu:
Pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan social, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia.[8]
Dalam
hal ini pembaharuan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Jadi pembaharuan hukum
pidana tersebut pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat yang melandasi
kebijakan social, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum.[9]
Pembaharuan hukum pidana ini didasarkan pada
alasan-alasan. Bahwa, pertama; KUHP dipandang tidak lagi
sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional, kedua; Perkembangan hukum
pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana
administrasi telah menggeserkan keberadaan system hukum pidana dalam KUHP.
Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu system hukum
pidana yang berlaku dalam system hukum pidana nasional, ketiga; Dalam beberapa
hal juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam
KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
Kemudian menurut
Dr. M. Abdul Kholik, pembaharuan hukum Pidana yaitu kebijakan Negara dalam
memperbaharui ketentuan hukum pidana yang berlaku (sebagai ius constitutum) untuk menghasilkan hukum pidana baru yang lebih
baik yang memenuhi syarat-syarat (ada 5 indikator yang harus dipertimbangkan),
yaitu:[10]
1.
Kepastian
2.
Kemanfaatan
3.
Keadilan
4.
Efektivitas /
fungsional, dan
5. Kesesuaian
dengan situasi yang dibutuhkan masyarakat sebagai adessat hukum yang baik pada
saat hukum dibuat maupun sesudahnya (ius
constituendum)
Kemudian
untuk meng-kriminalisasi[11] perbuatan tertentu
termasuk atau tidak termasuk dalam ketentuan pidana. Maka, dengan menggunakan
cara interpretasi[12] (Penafsiran) yang ditinjau dari kebijakan
hukum pidana dalam pembaharuan hukum nasional dengan maksud untuk mengetahui
dasar kebijakan dibentuk formulasi kumpul kebo dalam perundang-undangan.
Dalam
pembahasan ini menggunanakan teori penemuan hukum, baik lewat penafsiran (interpretasi).[13]
Interpretasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif yang termaktub
dalam aturan-aturan hukum.[14]
Dalam hal ini mengunakan metode interpretasi (penafsiran) gramatikal yaitu
menafsirkan kata-kata dalam undang-undang (pasal 485 RUU KUHP tentang kumpul
kebo) sesuaia dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
Jadi
pembaharuan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri,
artinya pembaharuan dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah
mengadakan suatu pembaharuan hukum pidana.
Nilai-nilai Agama (
Islam ) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.
Agama mempunyai
makna penting bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Sejak dahulu nenek moyang
mempunyai pandangan bahwa kehidupan tidak hanya kehidupan di dunia melainkan
ada kehidupan yang lain sesudahnya,
mengenal kepercayaan akan adanya roh-roh, pendeknya mempercayai adanya sesuatu
yang dianggap sebagai supra natural. Hal ini merupakan benih-benih sikap keberagaman yang berkembang
dan ada hingga kini. Agama berperan penting dan menjadi motivasi ketika bangsa
Indonesia berjuang mengusir penjajah dalam rangka mencapai kemerdekaan. Hal
tesbut sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang
berbunyai:[15]
“atas
kehendak rahmat ALLAH Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaan”.
Agama
merupakan sistem sosial yang
mewujudkan prilaku-prilaku para pemeluknya dalam realitas sosial yang
berinteraksi dengan realitas-realitas sosial lainya. Pengaturan dan pembinaan
pernyataan keimanan diwadahi dalam agama yang mengejewantahkan dalam bentuk-bentuk kaidah agama, doa-doa,
peribadatan, temasuk lembaga-lembaga keagamaan, pola-pola kelakuan tertentu bentuk
tempat ibadah, kegiatan dakwa, yang keseluruhannya
berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian agama merupakan
keseluruhan pribadi manusia.[16] Oleh karena itu agama dapat dilihat
fungsinya dalam masyarakat.
Mengenai
fungsi agama ini, D Hendropuspito. Mengajukan adanya lima fungsi agama yaitu
fungsi edukasi, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi memupuk
persaudaraan, dan fungsi transformatif. Agama berfunsgsi meberikan bimbingan
dan pengajaran yang otoritatif, bahkan mengenai hal-hal yang sakral tidak dapat
salah, ini merupakan fungsi edukatif dari agama. Fungsi penyelamatan berkaitan
dengan agama meberikan jaminan memperoleh keselamatan baik di dunia maupun
sesudah mati yang dibutuhkan manusia menurut nalurinya. Selanjutnya, fungsi
pengawasan sosial merupakan fungsi agama untuk menjaga tertib sosial dengan
menyelenggarakan kepatuhan terhadap norma-norma, dan jika terjadi penyimpangan
agama mengancam dengan sanksi. Norma-norma ini sebagai ketentuan moral yang
memiliki kekuatan mengawasi perilaku para pemeluknya. Selanjutnya agama
mempunyai fungsi pemupuk persaudaraan diantara orang-orang yang berasal dari
beraneka suku bangsa, golongan yang dapat disatukan dalam suatu keluarga besar
umat beragama yang beriman. Fungsi yang lain adalah transformatif; fungsi yang
berhubungan dengan usaha mengubah bentuk kehidupan bermasyarakat yang lama
menjadi bentuk yang baru. Hal ini dapat berarti mengganti nilai-nilai yang lama
dengan menanamkan nilai-nilai baru,[17]yang lebih baik.
Kedudukan Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Di Indonesia; Hukum islam (syari’at) memiliki dua dimensi yang terkandung yaitu
dimensi abstrak dan konkret. Wujud dari dimensi abstrak adalah segala perintah
dan larangan Allah serta Rasulnya, dan dimensi konkret wujudnya adalah tingkah
laku manusia.[18]
Bukan hanya itu saja di dalam hukum Islam juga kaya akan substansi yang
berinternalisasi dan terinstitusionalisasi dalam berbagai pranata sosial dikehidupan masyarakat islam dan masyarakat
Indonesia.[19] oleh
karena itu hukum islam menjadi hukum yang hidup dan berkembang dan berlaku
serta dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia disamping undang-undang
tertulis.[20]
Dalam
perkembangan dan pengkajian hukum islam di Indonesia, terdapat beberapa teori
yang menjadi landasan berlakunya hukum islam di Indonesia. Adapun teori-teori
tersebut diantaranya:
a.
Teori ajaran Islam
tentang hukum Islam; Dari teori ini tersirat bahwa islam mengajarkan kepada
para pemeluknya untuk berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam
firman Allah ( 1:5 ) yang didalamnya menggambarkan permohonan orang islam untuk
berjalan di jalan yang lurus termasuk di bidang hukum.[21]
c. Teori
Receptie In Complexiu / penerimaan hukum Islam sepenuhnya:[23]
Teori ini muncul pada tanggal 25 Mei
1876
yang oleh Belanda dituangkan dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische
Regeering yang pada tahun 1885
nya
oleh Belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regeering Regalement. [24]
Kemudian pertanggungjawaban pidana dalam hukum
islam (syari’at) adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak
adanya perbuatan yang dikerjakannya (unsur objektif) dengan kemauan sendiri,
dimana orang tersebut mengatahui dan akibat dari perbuatannya (unsur
subjektif).[25]
pembebanan tersebut dikarenakn perbuatan yang dilakukan itu adalah terlah
menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan yang
dilarang secara syari’at, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan.
Pembebanan juga
dikarenakan pebuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang
timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain secara
paksa (dipaksakan). Maka dapat disimpulakan bahwa dalam syari’at (hukum) islam
pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal:
1.
Adanya perbuatan yang
dilarang
2.
Perbuatan itu dikerjakan
dengan perbuatan sendiri
3. Pelaku
mengetahui akibat dari perbuatan itu.
Apabila adanya tiga hal tersebut
diatas, maka pertanggungjawaban itu ada pada orang yang melakukan perbuatan
pidana (kejahatan,tercela). Jika sebaliknya, maka tidak ada perbuatan
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebijakan Adopsi
Nilai-Nilai Agama (Islam) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Terhadap
Pasal 485 Ruu Kuhp Tentang Hidup Bersama Sebagai Suami Istri Di Luar Perkawinan
Yang Sah.
Tantangan; guru besar hukum pidana Universitas Indonesia, Andi
Hamzah menyatakan sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo. Kumpul kebo
termasuk ke dalam delik aduan.[26]
Kemudian dikhawatirkan diberlakukannya pasal ini akan membuat sebagian
masyarakat di Indonesia tidak setuju. Karana di Indonesia ada tiga daerah yang
membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai.[27]
secara pasti
data pelaku kumpul kebo di Indonesia belum bisa dipastikan secara kuantitatif,
namun masalah sosial kumpul kebo ini jelas ada. Dalam meng-kriminalisasi masalah
sosial ini, terbagi dua pendapat tentang pasal kumpul kebo, yaitu kubu yang pro
dan kubu yang kontra. Kubu yang kontra berargumen pasal kumpul kebo ini tidak
bisa diatur dalam undang-undang karena masalah kumpul kebo adalah masalah
pribadi dan hak asasi manusia dan negara Indonesia bukan negara agama tapi
negara beragama. disisi lain kelompok pro menyatakan pasal kumpul kebo ini
sangat tepat diterapkan di Indonesia sekarang ini, karena sebagai negara yang
berbudaya kiranya masalah kumpul kebo ini harus mendapat perhatian pemerintah,
sehingga tidak merusak tatanan sosial, kesusilaan dan norma agama yang kita
anut di negara ini. Dalam teori kriminalisasi dasar pembenaran untuk meng-kriminalisasikan
suatu perbuatan dalam perspektif moral adalah karena perbuatan tersebut
bersifat immoral. Artinya, perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
moral atau kaidah-kaidah moral atau mengganggu perasaan moral yang hidup dalam
masyarakat.[28]
Disisi lain,
dalam draf rancangan KUHP tersebut, pelaku kumpul kebo baru bisa dijerat dengan
KUHP ini jika ada pengaduan dari pihak keluarga salah satu pasangan ini.
Pernyatan John Stuart Mill dalam teori liberal individualistik, menegaskan;
kekuasaan negara dibatasi oleh kebebasan warganegara. Negara hanya boleh campur
tangan terhadap kehidupan pribadi warganegara bila warganegara tersebut
merugikan kepentingan orang lain. Artinya, yang dimaksud orang yang dirugikan
dalam pasal 485 tentang kumpul kebo adalah orang tua dari salah satu pelaku
kumpul kebo. Jadi kebebasan individu tidak boleh dibatasi oleh negara sepanjang
individu yang bersangkutan tidak merugikan individu lainnya.[29]
Kemudian dalam
perspektif hukum islam Teori ajaran Islam tentang hukum
Islam: teori ini tersirat bahwa islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk
berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam firman Allah ( 1:5 )
yang didalamnya menggambarkan permohonan orang islam untuk berjalan di jalan
yang lurus termasuk di bidang hukum.[30]
Teori penerimaan otoritas hukum: teori ini telah disepakati oleh seluru imam
dalam mazhab hukum islam dimana di dalamnya menegaskan bahwa siapapun yang
telah menyatakan sebagai orang islam/muslim dengan mengucapkan 2 kalimat
syahadat maka ia kan terikat dan patuh serta taat kepada hukum dan ajaran
islam.[31] artinya secara sosiologis, orang-orang
yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum islam yaitu taat kepada hukum
islam. Dan Teori Receptie In
Complexiu / penerimaan hukum Islam sepenuhnya: Teori ini dikemukakan oleh
Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg (1845-1927), yang menyatakan bahwa bagi
orang Islam sepenuhnya berlaku penuh hukum Islam karena ia telah memeluk agama
Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[32]
Teori ini muncul pada tanggal 25 Mei1876 yang oleh Belanda dituangkan dalam
bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering yang pada tahun 1885nya oleh
Belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regeering Regalement.[33]
Sayangnya,
hukuman penjara dalam pasal 485 tentang kumpul kebo ini masih bisa ditawar.
Pengguna frase ‘atau’ pidana denda, membuat pilihan hakim apakah akan dipenjara
atau didenda. Kemudian disisi lain frase dalam pasal 485 ini seakan-akan
melegalkan kumpul kebo yang dilakukan sesama jenis alias homoseks.
Peluang; dengan
dikriminalisasinya masalah kumpul kebo ini dalam rancangan KUHP, maka masalah
prilaku sosial ini akan mendapatkan pengaturan hukum secara jelas. Bukankah
selama ini banyak ditemukan pasangan kumpul kebo diberbagai tempat kost
dikota-kota besar di Indonesia, ketika mereka berhasil terjaring aparat dan
digelandang kekantor polisi hanya diberikan pengarahan sehingga tidak
menimbulkan efek jerah, namun dengan adanya kriminalisasi pelaku kumpul kebo
ini ditemukan diancam hukuman 1 tahun penjara.
Secara
fundamental, agama dan prinsip ketuhanan yang Maha Esa menempati kedudukan yang
dominan dalam system hukum nasional sebagai keseluruhan. Silah Ketuhanan yang
Maha Esa itu sendiri adalah sila pertama dan utama serta merupakan sila
pemersatu dan menyinari keempat sila lainnya dalam pancasila. Karena itu, dalam
alam pemikiran hukum di Indonesia dimana pancasila dipandang sebagai sumber
dari segala sumber hukum, agama dan asas Ketuhanan yang Maha Esa itu juga
merupakan prinsip pertama dan utama, dan berfungsi memberikan arah orientasi
nilai kepada system hukum yang sedang dan akan dibangun di Indonesia.
Pentingnya arti
agama secara umum, menjadi pertimbangan utama dalam usaha pembaharuan hukum
pidana di Indonesia, khususnya dalam rangka pembentukan KUHP baru yang dewasa
ini sedang dikaji dan dirancang oleh pemerintah. Terkait dengan RUU KUHP pasal
485 tentang kumpul kebo, bahwa pasangan kumpul kebo dipidana tak perlu
pembukrtian adanya hubungan seks. Kata, Prof. Mudzakir “di Belanda, kumpul kebo
tidak masalah, disini tidak boleh. Bagi anak-anak kost bagaimana? Ya jangan
hidup sekamar layaknya suami istri. Menikah saja dari pada di pidana.[34] kemudian dengan disahkan pasal tentang kumpul kebo,
akan mengurangi banyaknya tindak pidana aborsi.
Konstruksi Formulasi; usaha penulis yang bersifat kritik terhadap keburukan
dalam pergaulan sekarang ini yakni kenyataan masyarakat yang saat ini sebagian
saat ini mengadopsi budaya yang dating dari dunia barat, dan menghendaki agar
diadakannya pembaharuan pelaksanaan pidana terhadap fenomena dengan istilah
sosialnya “kompul kebo”, dilakukan oleh para pembuat undang-undang (legislatif)
adan aparat penegak hukum, serja yang paling penting untuk masyarakat pada
umumnya.
kebijakan delik
kumpul kebo dalam RUU KUHP pasal 485, yaitu “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar
perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Dalam teori
kriminalisasi dasar pembenaran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan dalam
perspektif moral adalah karena perbuatan tersebut bersifat immoral. Artinya,
perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai moral atau kaidah-kaidah
moral atau mengganggu perasaan moral yang hidup dalam masyarakat
karna
itu pengaturan proses pengaduan kumpul kebo ini harus diatur ulang oleh DPR,
dimana setiap orang yg melihat, menyaksikan sendiri perbuatan kumpul
kebo punya hak untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum, karna itu delik kumpul kebo ini
harus dalam bentuk laporan sehingga pelakunya bisa dijerat hukum.
Kesimpulan
Ø
Pemahaman suatu
rancangan pembaharuan hukum pidana dititikberatkan pada karakteristik hukum
pidana yang terkandung dalam kehidupan masyarakat dan ideology bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Aktivitas ini dilakukan oleh alat negara dalam penegakan.
Dan ketentuan-ketentuan hukum pidana diharapkan selalu dilakukan revisi
sehingga dapat mencerminkan kehidupan dan perkembangan masyarakat yang menjadi
subyek serta obyek dari suatu perundangan.
Ø
Fenomena dalam
kehidupan bermasyarakat yaitu berupa penyimpangan kehidupan di bidang kejahatan
seksual. Penyimpangan kesusilaan ini
salah satunya adalah hidup bersama tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang
terjadi antara seorang pria dan wanita yang kita kenal dengan istilah kumpul
kebo. Dari
masalah sosial
ini tertuang dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU
KUHP) Bagian Keempat “Zina dan Perbuatan Cabul” pasal 485,
yaitu:“Setiap orang yang melakukan hidup
bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pdiana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II
(Rp. 30juta).”
Dengan
RUU KUHP ini di harapkan
penyakit sosial
masyarakat tentang kumpul
kebo dapat diatasi di masyarakat.
Daftar
Pustaka
Arena Hukum, No, 18, Tahun:5, Nov
2002.
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana
Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Januari 2010.
Dr. Salman Luthan.Bahan kulia
“Teori Hukum Pidana Materil”.
Drs. Makhrus Munajat, M.Hum. “Hukum
Pidana Islam Di indonesia”. Yogyakarta: TERAS.
Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam
Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2009.
Ely Alawiyah Jufri. Kumpul Kebo
(Cohabitation) dalam KUHP Indonesia dan rancangan KUHP Nasional. Perputakaan
Universitas Indonesia.
Hary Susanto, Memeluk Agama,
Menemukan Kebebasan, dalam I Wibowo dan B Herry Priyono (edt), Sesudah
Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hendro Puspito, Sosiologi Agama,
Yoyakarta: Kanisius, 1989.
Ichtijanto, Hukum Islam di
Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995
Materi Pak Dr. M. Abdul kholiq. SH.,
M.H. “Pembaharuan Hukum Pidana”.
Moeljatno. Asas-asas hukum pidana,
Reneka Cipta. 2009.
Ni’matul Huda, Politik Hukum, Catatan
Perkuliahan, Kamis 19 Maret 2015.
Prof. Eddy O.S. Prinsip-prinsip hukum
pidana. Penerbit Atma Jaya Yogyakarta. 2014.
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH, M.Si.
“Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”.
Nusa Media.
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum
Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Rachman Lathief dalam Arena Hukum No.18, 5 Nov 2002,
Malang,
Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario
“hubungan antara hukum adat dan hukum Islam”, Jakarta:Academika, 1980.
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario
(hubungan antara hukum adat dan hukum Islam, Jakarta:Academika, 1980, hlm. 7
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barakatullah, politik hukum pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
UUD1945.
Internet
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/23/063468926/pakar-sulit-memperkarakan-kumpul-kebo
[1] Ely
Alawiyah Jufri. Kumpul Kebo (Cohabitation) dalam KUHP Indonesia dan rancangan
KUHP Nasional. Perputakaan Universitas Indonesia.
[2] Materi
Pak Dr. M. Abdul kholiq. SH., M.H. “Pembaharuan Hukum Pidana”
[3] Teguh Prasetyo dan Abdul
Halim Barakatullah, politik hukum pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi. (Menurut, Sudarto dalam bukunya “Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana”, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983… istilah Politik dipakai
dalam berbagai arti, yaitu: 1. Perkatan politiek
dalam bahasa belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan Negara; 2. Berarti
berbicara masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara.) Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 11.
[4] Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, politik hukum pidana: Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm.
12)
[5]
Ni’matul Huda, Politik Hukum, Catatan Perkuliahan, Kamis 19 Maret 2015
[6] Prof. Eddy O.S, 2014.
Prinsip-prinsip hukum pidana. Penerbit Atma Jaya Yogyakarta. Hlm. 12
[7]
Moeljatno. 2009, Asas-asas hukum pidana, Reneka Cipta. Hlm. 1
[8] Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Hlm. 28-29
[9] ibid
[10] Materi Pak Dr. M. Abdul
kholiq. SH., M.H. “Pembaharuan Hukum Pidana”
[11] Prof. Dr. Teguh
Prasetyo, SH, M.Si. “Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana”… bahwa reaksi masyarakat
terhadap kejahatan sebagai perbuatan negatif, kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat tentunya mendapat reksi dari masyarakat tempat itu terjadi. Reksi
ini bisa
berupa reaksi formal maupun reaksi informa;dalam reaksi fomal artinya dalam masalah ini akan
ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap
hukum pidana tersebut. Proses ini berjalan sesuai dengan mekanisme system
peradilan pidana, yakni proses dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan di penjara (lembaga pemasyarakatan). Kemudian
reaksi informal atau reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan
itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan yang sudah diatur dalam hukum
pidana (pelanggaran menimbulkan reaksi formal)
yang dapat menyebabkan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Artinya,
masyarakat menganggap perbuatan itu jahat (melanggar norma agama, kesopanan,
kesusilaan) tetapi perbuatan itu belum diatur oleh hukum pidana. Hal ini
nantinya berpengaruh dalam menetapkan “kriminalisasi”, begitu pula dalam
kerangka “dekriminalisasi” serta “depenalisasi”. Nusa Media. Hlm.13
[12] P.A.F Lamintang,
Dasar-Dasar Hukum Pidana... Berpendapat lebih luas, menjelaskan perlu kiranya
disadari bahwa suatu penafsiran (interpretasi) yang baik dan tepat atas
rumusan-rumusan yang terdapat didalam suatu undang-undang pidana erat
hubungannya dengan usaha manusia untuk memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena suatu penafsiran
yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam
undang-undang pidana tersebut akan membuat hak-hak atas kebebasan pribadi dan
atas pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas
atau dibatasi secara sewenang-wenang. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hlm.39
[13] Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam
Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2009. Hlm. 55
[14] Moeljatno. 2009,
Asas-asas hukum pidana, Reneka Cipta. Hlm. 12
[15] UUD1945
[16] Hary Susanto, Memeluk
Agama, Menemukan Kebebasan, dalam I Wibowo dan B Herry Priyono (edt), Sesudah
Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal.
302.
[17] Hendro Puspito,
Sosiologi Agama, Yoyakarta: Kanisius, 1989, hal. 40-55
[18] Drs. Makhrus Munajat,
M.Hum. “Hukum Pidana Islam Di indonesia”. Dalam islam perbuatan atau tindakan
yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta,
keturunan dan akal (intelegensi)
disebut Jinayah/Jarimah. Yogyakarta: TERAS. Hlm. 2
[19] Rachman Lathief dalam
Arena HukumNo.18, 5 Nov 2002, Malang, hlm.10
[20] Ramulyo, Asas-Asas Hukum
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm., 52.
[21] Arena
Hukum, No, 18, Tahun:5, Nov 2002, hlm,13
[22] Ichtijanto, Hukum Islam
di Indonesia. teori ini telah disepakati oleh seluru imam dalam mazhab hukum
islam dimana di dalamnya menegaskan bahwa siapapun yang telah menyatakan
sebagai orang islam/muslim dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat maka ia kan
terikat dan patuh serta taat kepada hukum dan ajaran islam. Artinya secara
sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum islam
yaitu taat kepada hukum islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995
[23] Sayuti Thalib, Receptie
a Contrario “hubungan antara hukum adat dan hukum Islam”, Teori ini dikemukakan
oleh Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg (1845-1927), yang menyatakan bahwa
bagi orang Islam sepenuhnya berlaku penuh hukum Islam karena ia telah memeluk
agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Jakarta:Academika, 1980. hlm. 7
[24]
Ichtjianto, Hukum Islam, hlm. 114
[25] Ahmad Hanafi, Azas-azas
Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967,.hlm,154
[26]dalam
hukum acara pidana, pengaduan merupakan proses awal dari hukum acara pidana.
Pengaduan menurut Pasal 1 butir 25 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan pengaduan
adalah “pemberitahuan disertai dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya”. Pengaduan bisa berisi
laporan, akan tetapi juga peermintaan supaya yang melakukan tindakan pidana
segerah dituntut (tindak). Pengaduan juga mempunyai batas waktu untuk dapat
dilaporkan. Dan pengaudan hanya dapat dilakukan pelaporan oleh oran-orang
tertentu yang disebut dalam undang-undang dan dalam kejahatan tertentu.
[28] Dr. Salman Luthan.Bahan
kulia “Teori Hukum Pidana Materil”
[29] ibid
[30] Arena Hukum, No, 18,
Tahun:5, Nov 2002, hlm,13
[31] Ichtijanto, Hukum Islam
di Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995
[32] Sayuti Thalib, Receptie
a Contrario (hubungan antara hukum adat dan hukum Islam, Jakarta:Academika,
1980, hlm. 7
[33] (Ichtjianto, Hukum
Islam, hlm. 114)
Hallo, numpang tanya Oom,
BalasHapusDefinisi hidup bersama sebagai suami-istri itu tepatnya seperti apa?
&bagaimana dengan orng yg hidup sebagai suami-suami atau istri-istri?
Definisi ikatatan perkawinan yg dimaksud dlm UU itu yg mn? apakah yg tercatat dicatatan sipil/kua saja atau termasuk yg tidak tercatat/adat?
Pembuktian dipersidangan nanti seperti apa? apa ada penyitaan barangbukti?