Minggu, 31 Januari 2016

Contoh Isian Matriks Penelitian Hukum Empiris_ "Abdul Mutalib"

Contoh Isian Matriks Penelitian Hukum Empiris
 Abdul mutalib_

Topik / Judul
Permasalahan dan Rumusan Masalah
Objek Penelitian
Pendekatan Penelitian
Landasan Teori
Metode Penelitian
POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Penelitian ini dilatarbelakangi dari beberapa kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Dan Hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, terutama Hukum Pidana merupakan bidang hukum yang mendapat sorotan paling keras. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pemberitaan mengenai tindak pidana  ringan yang terjadi di Indonesia. Yang menurut penulis kerugiannya sangat kecil dan seharusnya diselesaikan dengan standar pemeriksaan biasa, sangat bertentangan dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Yang levelnya masih kalah jauh, jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sangat besar kerugiannya. Dalam Proses dan sistem peradilan pidana yang berwala dari penyidikan oleh pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman oleh lembaga pemasyarakatan. Dari semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena integritas dan kompetensinya yang jauh dari rasa keadilan. Dengan landasan pemikiran tersebut. Maka pemasalahan penelitian ini yaitu: Bagaiman kebijakan hukum pidana terhadap pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?
Penelitian ini didasarkan pada penerapan pemidanaan oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) terutama Hakim dalam menangani perkara tindak pidana ringan. Objek yang dikaji adalah Hukum yang dikonsepkan sebagai simbol (putusan hakim) yang penuh dengan makna dan nilai hasil konstruksi mental hakim dalam menangani perkara tindak pidana ringan yang kerugiannya sangat kecil dan sesuai dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Putusan hakim yang dimaksut yaitu dipahami sebagi hasil konstruksi mental hakim yang kebenaran isinya tergantung bagaiman hakim melakukan interpretasi terhadapa fakta-fakta yang terkait dengan tindak pidana ringan.
Pendekatan sosiolegal dan pendekatan kasus. Pendekatan sosiolegal merupakan pendekatan interdispliner dalam mengkaji hukum yang memanfaatkan sosiologi. Sementara pendekatan kasus menurut; Goodheart, dilakukan dengan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu penelitian ini agar diketemukannya fakta material tersebut, baik hakim maupun para pihak akan mencari hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersbut .
Teori Keadilan yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural, yang dielaborasikan dengan Teori Budaya Hukum, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Pemidanaan dan teori pembahruan hukum pidana.
Penelitian ini terbilang tipe penelitian hukum empirik. Jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber pada pada: subjek penelitian, informan, nara sumber. Data sekunder bersumber pada dokumen-dokumen tertulis yang berupa putusan-putusan hakim tentang tindak pidana ringan, hasil-hasil eksaminasi, jurnal-jurnal ilmiah, dokumen-dokumen, buku-buku, tesis/disertasi, Koran, perundang-undangan, dan berbagai referensi yang relevan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dengan cara: wawancara, observasi, dan studi dokumen (tertulis dan tidak tertulis). Analisis data mengikuti model interaksi dari Mattew B. Miles dan A. Michael Haberman (1999) yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Untuk menjaga validasi, data penelitian diuji dengan model triangulasi yaitu triangulasi sumber dan metode.




untuk memenuhi tugas mata kuliah MPH : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA



KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum
Oleh :
Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum.







Oleh :         

                             NAMA       : ABDUL MUTALIB S.H
                             N.P.M         : 15912001
                             BKU           : HUKUM KESEHATAN

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015
A.      Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah yang sangat serius di Indonesia soal penegakan hukum tekait pemidanaan, penelitian ini dilatarbelakangi dari beberapa kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Dan Hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, terutama Hukum Pidana merupakan bidang hukum yang mendapat sorotan paling keras. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pemberitaan mengenai tindak pidana  ringan yang terjadi di Indonesia. Yang menurut penulis kerugiannya sangat kecil dan seharusnya diselesaikan dengan standar pemeriksaan biasa, sangat bertentangan dengan asas trilogi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan atau lazim disebut dengan contante justitie (Pasal 24 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)[1]. Yang levelnya masih kalah jauh, jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sangat besar kerugiannya. Adapun kasus-kasus tersebut antara lain seperti berikut:
1.        Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, didakwa mencuri tiga buah kakao atau cokelat di perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan pada 2009 lalu. Dia mengaku, berencana menjadikan buah-buah kakao itu sebagai benih. Tanpa didampingi penasihat hukum, Minah harus menjawab semua pertanyaan majelis hakim. Akhirnya majelis hakim menjatuhkan hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.
2.        Rasminah, nenek berusia 60 tahun harus mendekam di LP Tangerang, Banten. Dia dituduh majikannya, Siti Aisyah Margaret, mencuri 6 piring pada Juni 2010. Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Desember 2010. Memutuskan untuk membebaskan dirinya. Namun pada 30 Januari 2012, Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah. MA mengganjarnya dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Meski begitu, majelis hakim Artidjo Alkostar menyatakan, Nenek Rasminah tidak bersalah.
3.        Pasangan kakek Anjo Lasim (70) dan nenek Jamilu Nani (75), warga Desa Tenggela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo harus menghadapi meja hijau pada 2010 lalu. Keduanya dituntut 3 bulan penjara lantaran dituduh mencuri 6 batang bambu di lahan milik tetangga mereka. Majelis hakim Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo akhirnya membebaskan keduanya setelah dinilai tak bersalah.
4.        Nenek Artija (70) menjadi terdakwa setelah dilaporkan oleh anak kandungnya sendiri ke polisi. Dia dilaporkan anaknya, Manisah atas tuduhan mencuri 4 batang pohon. Padahal, pohon itu ditanam oleh sang nenek di pekarangan rumahnya. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Jember akhirnya menghentikan persidangan kasus itu lantaran sudah ada kesepakatan damai antara Manisa dengan Artija.
5.        Nenek Asyani alias Buk Muaris didakwa mencuri 7 batang pohon jati dari lahannya sendiri. Pihak Perhutani yang memperkarakan nenek Asyani dan 3 orang lainnya menilai kasus pencurian ini termasuk tindak pidana umum dan memang harus dipidanakan. Karena jika tidak, Perhutani-lah yang harus dipidanakan atau didenda sesuai UU No 18 Tahun 2013. Namun sang nenek bersikukuh tidak melakukan pencurian 7 batang kayu jati seperti yang dituduhkan polisi. Bersama 3 terdakwa lainnya, wanita berusia 63 tahun itu pun ditangguhkan penahanannya. Meski demikian kasus hukum nenek Asyani tetap berlanjut. Kamis 19 Maret 2015, dia kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Situbondo.
6.        Harso Taruno, kakek 67 tahun di Yogyakarta juga mengalami masalah seperti nenek Asyani. Dia dilaporkan ke polisi karena dituduh menebang pohon di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul, DIY. Karena tuduhan itu, Harso dinilai merusak hutan dan melawan hukum. Dia pun dituntut 2 bulan penjara dan denda Rp 400 ribu subsider 1 bulan penjara. Dan sempat mengecap sel bui selama 1 bulan. Namun, Selasa 17 Maret 2015, majelis hakim PN Wonosari yang diketuai Yamti Agustina menyatakan Harso tak bersalah.[2]
Maraknya kasus tindak pidana ringan di masyarakat yang berujung pada meja hijau semakin menambah jumlah tahanan di Rumah Tahanan (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana dijadikan alat represif, tanpa memperhatikan kepentingan si pelaku (offender) sebagaimana pada  contoh kasus diatas, demi hanya mencapai keadilan procedural tanpa melihat keadilan substansi juga. Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan sosiolegal dan pendekatan kasus secara rasional. Pendekatan sosiolegal merupakan pendekatan interdispliner dalam mengkaji hukum yang memanfaatkan sosiologi. Sementara pendekatan kasus menurut; Goodheart, dilakukan dengan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu penelitian ini agar diketemukannya fakta material tersebut, baik hakim maupun para pihak akan mencari hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersbut.
Dari sisi lain jika tidak, akan menimbulkan ‘the crisis of overcriminalization’  (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law’ (krisis pelampauan dari hukum pidana).[3] Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi maka Rutan maupun Lapas sebagai pintu terakhir dalam sistem peradilan pidana  akan mengalami lonjakan penghuni yang berakibat pada terjadinya kelebihan kapasitas ( over capacity) dan tidak tercapainya tujuan dari pemidanaan itu sendiri.
Dalam Proses dan sistem peradilan pidana yang berwala dari penyidikan oleh pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman oleh lembaga pemasyarakatan. Dari semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena integritas dan kompetensinya yang jauh dari rasa keadilan.
A.      Rumusan Masalah
Dengan landasan pemikiran tersebut. Maka permasalahan penelitian ini yaitu: Bagaiman kebijakan hukum pidana terhadap pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia terkait dengan perkara tindak pidana ringan yang jauh dari asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan?
B.       Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menemukan keadilan substantif dan prosedural dalam menangani perkara tindak pidana ringan. Penggalian dan penemuan keadilan  ini sangat urgen (penting) sebab pelaku tindak pidana ringan juga sebagai masyarakat pencari keadilan. Dengan melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana ringan dan putusan hakim tersebut akan dapat diketahui kualitas putusan dalam rangka memenuhi tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan sebagaimana irah-irah dalam setiap putusan hakim yaitu “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Keadilan itu meliputi baik dimensi formalnya maupun substansinya.


C.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara toritis maupun praktis. Manfaat teoritis diorientasikan untuk pengembangan keilmuan dibidang hukum pidana terutama berkaitan dengan teori-teori pemidanaan putusan oleh hakim dan masalah keadilan.
Berdasarkan tataran analisisnya atau tingkat abstraksinya, pengembanan hukum teoritis dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pertama; tataran ilmu-ilmu positip, yaitu tataran yang paling rendah tingkat abstraksinya, disebut ilmu-ilmu hukum; kedua, tataran yang lebih abstrak, tingkat abstraksinya disebut Teori Hukum; dan ketiga, tataran filsafat yang abstraksinya paling tinggi disebut Filsafat Hukum. Filsafat hukum meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritis dan praktis. Pengembanan hukum praktis adalah kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputih kegiatan pembentukan hukum, penemuan hukum, penegakan hukum dan bantuan hukum.[4]
Kemudian dari aspek studi ini dimaksudkan untuk pengembanan hukum yang terkait dengan teori hukum dan filsafat hukum, yakni terkait dengan teori keadilan yang substantif dan keadilan prosedural, teori budaya hukum, bekerjanya hukum, teori pemidanaan dan teori pembaharuan hukum pidana. Dari aspek praktik, studi ini diharapkan dapat mengetahui, memahami dan menjelaskan kegiatan aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi) dalam penegakan hukum dan penemuan hukum, terkait kasus tindak pidana ringan.
D.      Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan permasalahan sebagaimana telah diuraikan, sebatas pengetahuan yang penulis ketahui sebagian dari disertasi Dr. M. Syamsudin.[5] Ini merupakan sesuatu yang belum pernah dikaji secara politik hukum pidana terkait soal pemidanaan dalam kasus tindak pidana ringan, oleh para penstudi hukum. Kajian-kajian sebelumnya yang mambahas tentang hakim dalam menangani perkara pemidanaan, tampaknya belum menukik sampai kepada pencarian makna penegakan hukum yang jauh dari asas trilogy peradilan sederhana, cepat dan berniaya ringan, terutama dari perspektif budaya hukum, bekerjanya hukum, kemudian soal konsep pemidanaan dan pembahruan hukum pidana yang kemudian berdampak pada merekonstruksikan budaya hukum terhadap pemidanaan yang berbasis pada keadilan, yaitu keadilan yang substantif dan keadilan yang prosedural. Oleh karena itu penegasan tentang orisinilitas ini penting untuk menghindari pengulangan (duplikasi) kajian dengan sebuah tema dengan fokus studi yang sama.
Penelusuran terhadap studi-studi terdahulu untuk menentukan orisinalitas studi ini dilakukan dengan cara melakukan tinjauan kepustakaan yang sejenis baik yang telah dilakukan oleh para penstudi dari lingkungan disiplin ilmu hukum sendiri maupun di luar ilmu hukum, terutama ilmu-ilmu sosial.
Beberapa kajian yang relevan dengan penulisan ini yang berhasil dihimpun sebagai perbandingan atas kajian-kajian sebelumnya dapat dilihat sabagai berikut ini:
No.
Nama
Tahun
Perbandingan dengan kajian sebelumnya
1
M. Syamsudin
2007
Dalam penyusunan disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang menulis tentang: “Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif”. Studi Pemaknaan Hakim tentang Korupsi. Penelitian ini dari segi pendekatan agak sedikit punya kesamaan. Metode, dan teori penulis mendapat inspirasi dari disertasi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada pabak, dengan ini penulis bias mengutip banyak hal dari disertasi ini. Namun penelitian ini objek kasusnya berbeda.[6]
2
Antonius Sudirman
2007
Dalam menyusun Tesis di Program Pascasarjana ilmu Hukum UNDIP Semarang menulis tentang: ”Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar”. Studi ini meneliti tentang kepribadian hakim Bismar Siregar dan pengaruhnya terhadap perilaku hukumnya dalam membuat putusan. Beberapa variabel sosiologis yang turut memberikan andil dalam membentuk kepribadian Bismar meliputi: latar belakang hidup, rumah tangga, pengalaman kerja sebelum menjadi hakim, agama, pendidikan, dan lingkungan kerja yang kondusif pada awal karir. Diantara variabel tersebut yang paling dominan pengaruhnya adalah faktor lingkungan kerja yang kondusif dan pendidikan hukum informal. Faktor dominan yang mempengaruhi perilaku hukumnya adalah bukan sistem, struktur, birokrasi peradilan, bukan faktor perundang undangan dan kekuatan ekstra yudisial, melainkan faktor sikap, ideologi, keyakinan, dan pemikirannya (kepribadian) yang selalu tergambar dengan jelas dalam nilai-nilai yang terkandung dalam putusanputusannya. Penelitian ini meskipun subjeknya hakim, akan tetapi dari segi fokus dan pendekatan penelitiannya sangat berbeda dengan penelitian penulis. Di samping itu juga berbeda dari segi subjek, teori, dan metodologi yang dipergunakan. [7]
3
Salman Luthan
2007
Dalam menyusun disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum UI, menulis tentang: “kebijakan penal mengenai kriminalisasi di bidang keuangan (studi terhadap pengaturan tindak pidana dan sanksi pidana dalam UU perbankan, perpajakan, pasar modal dan pencucian uang”. Studi ini menemukan antara lain bahwa terdapat kecenderungan kebijakan pemberatan sanksi pidana oleh pembentuk undang-undang dibidang keuangan, baik sanksi pidana penjara, denda maupun gabungan keduanya. Kajian ini juga menemukan bahwa falsafah pemidanaan yang digunakan dalam pembentukan perundang-undangan di bidang keuangan adalah falsafah pemidanaan penangkalan yang dikombinasikan dengan prinsip proporsionalitas cardinal dan ordinal. Penelitian ini sangat berbeda dari segi konsep hukum yang digunakan, pendekatan, metodologi dan fokus penelitiannya. Namun demikian temuan-temuan studi ini memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana sanksi-sanksi pidana.[8]
4
R. Benny Riyanto
2006
Dalam menyusun disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP meneliti tentang: ”Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Perdata di Pengadilan Negeri”. Fokus penelitian ini terletak pada disain kebebasan hakim dalam memutus perkara perdata dalam konteks hukum subtantif dan hukum acara dalam rangka pembentukan hukum oleh hakim. Penelitian ini juga sangat berbeda dalam hal topik yang dikaji meskipun sama-sama mengkaji tentang hakim sebagai fokusnya.Penelitian ini belum sampai pada membahas makna dibalik putusan-putusan hakim tersebut dan topiknya masalah keperdataan.[9]
5
Busyro Muqoddas
1996
Dalam menyusun tesis di Program Magister Hukum Pascasarjana UGM Yogyakarta meneliti tentang: ”Penerapan Hukum Tidak Tertulis dalam Putusan Hakim”. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penerapan hukum tidak tertulis dalam praktek putusan hakim hanya mungkin dilakukan hakim bilamana hakim berpegang teguh pada jiwa ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970. Pelaksanaan pasal ini memerlukan penguasaan hakim terhadap materi kasus yang menjadi sengketa dan kemudian mencari serta menentukan pasal-pasal mana di antara hukum tertulis yang paling mendekati kesesuaian dengan dengan isi kasusnya, kemudian mensenyawakan jiwa pasal-pasal ini dengan asas-asas hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Penelitian ini lebih kepada penerapan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan kasus konkrit di bidang hukum keperdataan berdasarkan hukum tidak tertulis dan belum sampai pada penggalian nilai-nilai di balik putusan hakim. Penelitian ini sangat berbeda dari segi konsep, teori, metode dan pendekatan yang digunakan.[10]
6
Nancy Panington dan Reid Hastie
1993
Meneliti model-model pengambilan keputusan oleh juri atau hakim. Model cerita digunakan oleh juri untuk menjelaskan proses pengambilan putusan di persidangan. Para juri menyusun cerita selama mendengarkan bukti-bukti di persidangan. Selanjutnya mereka mempelajari beberapa kemungkinan putusan dan akhirnya mereka memilih keputusan yang paling cocok dengan cerita yang telah disusun untuk memahami bukti-bukti yang didengar dalam menetapkan putusan. Penelitian ini berada di wilayah Psikologi Hukum yang sangat berbeda dari segi pendekatan, konsep, dan metodologinya. Namun demikian teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini akan penulis gunakan untuk menganalisis hakim dalam merekonstruksi putusan tentang korupsi.[11]
7
Didit Supriyadi
2014
Dalam menyusun tesis, di Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta, meneliti tentang: “ Aspek Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme”. Pembahasan dan analisanya; factor yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang tepat bagi anak pelaku terorisme. Penelitian ini berbeda dari segi objek yang dikaji dan perkaranya. Namun memiliki kesamaan dari segi kajian soal pemidanaan dan memberikan inspirasi bagi penulis.[12]
8
Effendi Mukhtar
2008
Program Magister Hukum pascasarjana UII Yogyakarta.Tesis tentang: “implementasi tentang teori pemidanaan dalam putusan perkara psikotropika oleh hakim di pengailan negeri Yogyakarta”. Penelitian ini lebih kepada, deskripsi kasus pidana psikotropika, alasan hakim menganut dan atau menerapkan pemidanaan. Penelitian ini berbeda dari perkara tapi ada kesamaan dalam soal penerapan pemidanaan.[13]
9
Elfi Marzuni
2005
Dalam menyusun tesis di Program Magister Pascasarjana UII. Menulis tentang: “penerapan asas kebebasan hakim dalam mengambil putusan perkara pidana”. Penelitian ini meskipun subyeknya hakim, akan tetapi dari focus dan pendekatan berbeda, selain itu juga berbeda dari segi teori, dan metodologi yang dipergunakan.[14]

E.       Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini adalah sebagai alat analisis masalah penelitian.[15] Landasan teori ini difungsikan untuk memberikan penjelasan-penjelasan, predeksi-prediksi, dan juga kontrol terhadap permasalahan, realitas empirik dan juga gejala hukum yang akan dikaji.[16]
Berangkat dari kebutuhan penelitian tersebut, teori yang dianggap paling tepat untuk menjelaskan dan memahami realitas hukum yang sedang dikaji dalam studi ini adalah Teori Keadilan: keadilan substantif dan keadilan prosedural, yang dielaborasikan dengan teori-teori pendukung, yang meliputi Teori Budaya Hukum, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Pemidanaan dan teori pembaharuan hukum pidana.
Asumsi dasar teori keadilan dapat kemukakan, bahwa pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. sejak Socretes hingga Francois Geny, teori-teori hukum alam mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam ini juga mengutamakan “the search for justicie”. teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.[17]
Istilah keadilan (justicie) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa defenisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antara manusia. keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.[18]
Secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat-sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam dua arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, sedangkan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat. Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran menganai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak literature, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada.[19]
Keadilan dalam garis besarnya terbagi atas dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik diwakili oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles[20], bahwa sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.[21]
Dalam diskursus konsep keadilan, banyak ditemukan berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan menurut Aristoteles dan keadilan menurut John Rawls. Jika dikaitkan dengan penelitian yang akan dikaji menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan Negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Sedangkan John Rawls mengkonsepkan  keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.[22]
Dalam konteks penegakan hukum oleh aparat hukum mulai dari Polisi, Jaksa, sampai pada hakim atau dari penyidikan, penuntutan hingga putusan hakim terutama yang sering disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice)  dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsive sesuai hati nurani.
Gustav Radbruch[23] mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang mengandung unsur-unsur Keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit). agar terwujud putusan hakim yang berkualitas yang memenuhi harapan pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.[24]
Artinya dengan dasar itu, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam menjalankan tugasnya demi mencapai tujuan keadilan yang di idamkan harus bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil putusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
Dalam praktik terkadang tidak mudah untuk menghadirkan ketiga unsur itu secara proporsional dalam satu putusan, terutama antara unsur keadilan dan kepastian hukum bisa saja saling bertentangan.[25] Disamping beberapa contoh kasus yang sudah disebutkan sebelumnya, untuk menggambarkan adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan (substantif) dan kepastian hukum (keadilan prosedural), yaitu dalam kasus perkara tindak pidana ringan.
Untuk menganalisis permasalahan ini, Teori Keadilan akan dielaborasikan dengan konsep-konsep yang terkait dengan budaya hukum dalam konteks penegakan hukum. Konsep budaya hukum dibatasi pada budaya hukum internal, yaitu budaya hukum dari para aktor institusi (polisi, jaksa, hakim) yang menjalankan hukum hingga sampai pada pengadilan dan berakhir pada putusan.[26] Konsep budaya hukum ini berisi cara-cara tertentu yang bergerak menuju hukum untuk mencapai kepentingan-kepentingan para aktor hukum berhadapan dengan institusi hukum. Hal tersebut berdasarkan pada pengaruh faktor-faktor besarnya pengaruh dorongan kepentingan, kinginan, harapan, dan pendapat aktor terutama masyarakat luas tentang hukum.
Konsep budaya hukum internal ini digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan nilai-nilai, sikap, dan moralitas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) terutama hakim dalam proses memutuskan perkara tindak pidana ringan. Untuk memperkuat dan mempertajam analisis penulisan ini, juga mengelaborasikan dengan konsep bekejanya hukum dimasyarakat.[27]Bekerjanya hukum dalam penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya suatu upaya untuk menegakkan atau memfungsi norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan kehidupan masyarakat dengan Negara (institusi). Berbicara mengenai bekerjanya hukum selalu melibatkan kekuatan-kekuatan social, budaya, ekonomi dan politik.[28] Dengan demikian hasil bekerjanya berbagai macam faktor akan mempengaruhi sistem penegakan hukum. 
Selanjutnya untuk terpenuhinya keadilan secara proporsional, teori keadilan yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedul, dielaborasikan dengan Teori pemidanaan. Pemidanaan diartikan sebagi tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Ada beberapa perspektif filsafat tentang pemidanaan, yakni perspektif eksistensialisme, sosialisme, dan perspektif pancasila.[29]
Kemudian untuk menjelaskan masalah penulisan ini secara mendetail mengenai pemidanaan agar tercapainya tujuan sebenarnya pemidanaan dijatuhkan. Teori pemidanaan meurut Adami Chazawi,dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) golongan besar; Teori absolut atau teori pembalasan (retributive) atau vergeldings theorien), Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian atau doel theorien), Teori Gabungan (verenegins theorien).[30]
Menurut Teori absolut atau teori pembalasan (retributive)[31], pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.[32] Akan tetapi satu hal yang penting untuk mrngatakan bahwa sanksi hukum bisa secara moral diperbolehkan, namun di sisi lain, ada pihak yang mempertanyakan jenis atau atau kondisi penjara seperti apa yang secara moral diinginkan?[33]. Artinya, dari segala bentuk teori hukuman retributive, bagaimanapun, adalah bahwa penjahat harus dihukum sebanding (atau setidaknya tidak lebih dari perbuatannya) dengan kejahatan mereka.  
Selanjutnya menurut teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel theorie); memidana bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran menurut teori relative terletak pada tujuan pidana diputuskan agar supaya orang tersebut tidak melakukan kejahatan.[34] Jadi untuk mencapai tujuan previsi atau perbaikan sipelaku, tidak hanya secara negatif maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik, bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak tanduk sipelaku atau menyerahkan kepada suatu lembaga swasta dalam bidang social, untuk menampung orang-orang yang perlu di didik menjadi anggota masyarakat yang paham akan hukum.
Kemudian Teori Gabungan (verenigings theorieen),teori ini menggabungkan kedua teori diatas dengan memperhitungkan pembalasan dari hukum pidana, prevensi general serta tujuan pemidanaan.[35] Teori ini muncul karna terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relative, diataranya yaitu:
Kelemahan teori absolut:
·      Dapat menimbul ketidak adilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
·      Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?.
Kelemahan  teori relatif:
·      Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejehatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-nakuti saja, sehingga tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
·      Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memprbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
·      Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residivis.
Grotius (1583-1645) mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tetapi oleh pelaku dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.[36]
Selanjutnya dalam perspektif kebijakan hukum pidana, ada beberapa faktor yang dapat menjadi alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana, menurut Prof. Salman Luthan dan Prof. Muladi[37]:
·      Hukum pidana yang sudah ada sudah tidak bersesuaian dengan perkembangan sosial dan keperluan masyarakat yang berkenaan. Hukum dan undang-undang itu tidak lagi relevan dengan keadaan sosial masyarakat yang hendak diaturnya, umpamanya dengan wujudnya kejahatan baru;
·      Sebahagian ketentuan dalam hukum pidana yang sudah ada, tidak sejalan dengan ide-ide pembaharuan/reformasi yang membawa pada nilai-nilai hak asasi manusia, nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, demokrasi dan nilai moral yang berkembang di masyarakat;
·      Bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sudah ada, mewujudkan ketidak adilan (unjastice) dan bahkan merusak hak asasi manusia.
·      Hukum dan undang-undang pidana yang sudah ada,sudah tidak bias mengawal dan mengendalikan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka untuk mewujudkan hukum pidana yang baik, berkemajuan dan realistis maka diperlukan kerja sama yang terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (praktitioners), antara pakar kejahatan (criminologist) dengan advokat (lawyers), sehingga dapat disatukan gagasan-gagasan pencegahan kejahatan dengan idea-idea teknik perundang-undangan dalam proses perancangan hukum pidana.[38]
Kemudian Prof. Sudarto mengemukakan bahwa politik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dan sistem peradilan pidana memilih hukum dan undang-undang yang bersesuaian, paling memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa politik hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan menjangkau masa depan.[39]
F.       Metode Penelitian
1.        Tipe, Pendekatan dan Objek Penelitian
penelitian ini terbilang  dalam penelitaia hukum non-doktrinal dengan pendekatan sosiolegal dan pendekatan kasus.[40] Objek yang dikaji adalah Hukum yang dikonsepkan sebagai simbol (putusan hakim) yang penuh dengan makna[41] dan nilai hasil konstruksi mental hakim dalam menangani perkara tindak pidana ringan yang kerugiannya sangat kecil dan sesuai dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Putusan hakim yang dimaksut yaitu dipahami sebagi hasil konstruksi mental hakim yang kebenaran isinya tergantung bagaiman hakim melakukan interpretasi terhadapa fakta-fakta yang terkait dengan tindak pidana ringan. Untuk mengungkap realitas objek tersebut digunakan teori Teori Keadilan yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural, yang dielaborasikan dengan Teori Budaya Hukum, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Pemidanaan dan teori pembahruan hukum pidana.
2.        Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber pada hasil wawancara dan observasi. Adapun informan yang di wawancarai dalam penelitian ini adalah pihak penegak hukum (hakim) di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Data sekunder bersumbar dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, tesis/disertasi, dokumen-dokumen, laporan-laporan maupun arsip-arsip resmi yang dapat mendukung kelengkapan data primer.
3.        Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan cara  menganalisis data secara kualitatif. Teknik ini dipergunakan untuk menggambarkan masalah yang ada berdasarkan hasil observasi dan wawancara dan selanjutnya data dianalisis/diolah dengan menggunakan teknik "interpretase data" yaitu analisis.
Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data atau memulai tiga tahapan yang di kemukakan oleh Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008), yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan Kesimpulan. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut :
1.    Reduksi Data (data reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena semakin lama peneliti kelapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisa data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting.
2.    Penyajian data (data display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian ini yang memakai pendekatan kualitatif maka penyajian data bisa di lakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan  data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.
3.    Kesimpulan
Langkah ketiga dalam analisis data adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
4.        Validasi Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dimungkinkan terdapat kelemahan. Untuk mengatasi hal tersebut yakni agar data tetap terjamin validasi (kesahihan), objektifitas dan keterandalannya ditempuh teknik pemeriksaan triangulasi.[42] Dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber dan data. Triangulasi sumber dan metode dilakukan denga cara melakukan cek silang antara sumber data dan metode yang satu dengan yang lainnya, baik yang diperoleh lewat metode wawancara, observasi, studi pustaka maupun catatan lapangan.


Daftar Pustaka
Amir Ilas. S.H., M.H. 2012. Asas-asa Hukum Pidana; Memahami Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogakarta & PuKAP-Indonesia.
Bambang S. Mencari Format Ideal keadilan putusan dalam peradilan. Yo: gyakarta Fakultas Hukum Universitas  Islam Indonesia Jl. T amansiswa No. 158. bambang@fh.uii.ac.id
Buku pedoman Penulisan Tugas Akhir (TESIS). 2010. Program Magister Ilmu Hukum. Yogyakarta: UII
Didit Supriyadi. 2014. “Aspek Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta.
E. Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum  Keadilan.  Jakarta: Penerbit buku kompas
Effendi Mukhtar. 2008. “implementasi tentang teori pemidanaan dalam putusan perkara psikotropika oleh hakim di pengailan negeri Yogyakarta”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta.
Elfi Marzuni. 2005. “penerapan asas kebebasan hakim dalam mengambil putusan perkara pidana”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta.
M. Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
M. Syamsudin. 2007. Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif (studi pemaknaan hakim tentang koropsi). Semarang: Universitas Diponegoro
M. Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i. 2015. Sosiologi Peradilan Pidana. Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia.
Mokhammad Najih, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang-Jawa Timur. Komisi Hukum Nasional RI Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional: Politik Hukum Pidana Indonesia, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berbasis Pada Pancasila
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. 2011. “Teori Hukum”. Yogaakarta: Universitas Atma jaya
Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arif. 2005. Teori-teori dan kebijakan pidana. Bandung: PT.ALUMI. 2005
Prof. Peter Mahmud Marzuki, S.H., MS., LL.M. 2009. ”Penelitian Hukum”. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arif. 2005. “Teori-teori dan kebijakan pidana. Bandung: PT.ALUMI.

Perundang-undangan:
Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
Internet:
http://miftahulbari.blogspot.com/2012/05/keadilan-dalam-prespektif-teori-hukum.html., Akses tanggal 20  agustus 2015.



[1] lihat butir e Penjelasan Umum KUHAP, Pasal 24 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (4) KUHAP. Demikian pula lihat pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan asas ini, yaitu pasal 60,102 ayat (1), pasal 106,107 ayat (3), 110,138 dan pasal 140 ayat (1) KUHAP
[3]  M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 6
[4] Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif(studi pemaknaan hakim tentang koropsi). Universitas Diponegoro semarang. 2007. Hlm. 11
[5] Ibid., hlm. 12
[6] Dr. M. Syamsudin. Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif(studi pemaknaan hakim tentang koropsi). Universitas Diponegoro semarang. 2007
[7] Ibid., Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Hlm. 13-14
[8] Ibid., Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Hlm. 14
[9] Ibid., Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Hlm. 14-15
[10] Ibid., Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Hlm. 16
[11]Ibid., Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. Hlm. 15-16
[12] Didit Supriyadi. “Aspek Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta. 2014
[13] Effendi Mukhtar. “implementasi tentang teori pemidanaan dalam putusan perkara psikotropika oleh hakim di pengailan negeri Yogyakarta”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta. 2008
[14] Elfi Marzuni. “penerapan asas kebebasan hakim dalam mengambil putusan perkara pidana”. Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta. 2005
[15]Buku pedoman Penulisan Tugas Akhir (TESIS),Program Magister Ilmu Hukum. Hlm. 13
[16]Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum. Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif ( Studi Pemaknaan Hakim tentang Korupsi) . hlm. 19
[17] http://miftahulbari.blogspot.com/2012/05/keadilan-dalam-prespektif-teori-hukum.html., Akses tanggal 20  agustus 2015.Miftahul
[19] E. Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum  Keadilan.  Penerbit buku kompas Jakarta. Hlm. 96
[20] Aristoteles, murid Plato, pada dasarnya mengikuti pemikiran Plato ketika Aristoteles memulai mempersoalkan tentang keadilan  dan kaitannya dengan hukum positif. Namun yang membedakan diantara mereka , bahwa Plato dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari inspirasi, sementara aristoteles mendekati dengan sudut pandang yang rasional. Yang menghubungkan keduanya adalah, bahwa kedauanya sama-sama berupaya membangun konsep tentang nilai keutamaan, yang bertujuan untuk mengarahkan manusia kepada sesuatu kecondongan, yang pada dasarnya telah menjadi problem utama dalam pemikiran hukum kodrat masa itu, tentang arah yang baik atau arah yang buruk, berdasarkan nilai keadilan atau tiadanya keadilan.
[21] Op.Cit., hlm. 97
[22] Ibid. hlm. 98-99
[23] Bambang S. Mencari Format Ideal keadilan putusan dalam peradilan. Fakultas Hukum Universitas  Islam Indonesia Jl. T amansiswa No. 158 Y ogyakarta. bambang@fh.uii.ac.id
[24] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Teori Hukum, Universitas Atma jaya Yogaakarta, 2011, hlm. 23
[25] Ibid., hlm.23
[26] Loc cit.Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum. Baca Lawrence M.Friedman. 1975. The Legal System: A Social Science Perspektive, New York: Russel Sage Fondation. Hlm. 21
[27] Ibid., William J.Chambliss & Robert B.Seidman. 1971. Law, Order and Power. Reading. Mass:Addison-Wesly. hlm. 5-13. Baca pula Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum sebuah TelaahSosiologis.  hlm.,21
[28] Ibid., Robert B. seidman… Seidman menyatakan bahwa bekerjanya hukum itu selalu melibatkan kekuatan-kekuatan sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk menfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya dan dalam seluruh aktivitas-aktivitas lembaga pelaksanaanya.
[29] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003,; Bagi Jean Paul Sartre, kebebasan adalah mutlak. Konsekuensinya, pidan dipandang sebagai hal yang tidak berguna, karena pidana merupakan pembatasan terhadap kebebasan mutlak. Sebaliknya, Albert Camus berpendapat bahwa kebebasan mutlak itu tidak ada. Kebebasan dalam pelaksanaannya harus dikaitkan dan memperhatikan kebebasan individu lain. Atas dasar pemikiran demikian, Camus berpendirian bahwa hukum dan pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada Negara untuk memidana. Kemudian Perspektif sosialisme lebih menekankan aspek Negara ketimbang individu warganya atau lebih mementingkan kepentingan Negara bukan individu. Namun di Indonesia menganut paham yang berbeda dengan kedua paham tersebut. Falsafah Negara Indonesia adalah pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan kepentingan Negara. hlm. 84-85
[30] Amir Ilas. S.H., M.H, Asas-asa Hukum Pidana; Memahami Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogakarta & PuKAP-Indonesia, 2012, hlm. 95
[31] Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan pidana.., (aliran dalam teori absolud/retributive: Immanuel Kant, Hegel, nigel Walker, Prof. Sudarto, Van Bemmelen, Pompe, Chr.J.Enshede). PT.ALUMI, Bandung, 2005, hlm.10
[32] Op cit., baca Amir Ilas. S.H., M.H, hlm. 95
[33] Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i. Sosiologi Peradilan Pidana. (Jakarta: Yayasan pustaka obor Indonesia 2015), hlm.26
[34] Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan pidana. Bandung, PT.ALUMI, 2005, hlm.10
[35] Prvensi general dimaksutkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, pencegahan kejahatan ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkalaku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.  
[36] Loc cit. baca Amir Ilas. S.H., M.H,. hlm.101-103
[37] Mokhammad Najih, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang-Jawa Timur, Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional: Politik Hukum Pidana Indonesia, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berbasis Pada Pancasila, Lihat Komisi Hukum Nasional RI., hlm. 190
[38] Ibid…,
[39] Ibid., hlm. 189
[40] Prof. Peter Mahmud Marzuki, S.H., MS., LL.M. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2009. Hlm. 119
[41] Loc cit.Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum., Terdapat sekurang-kurangnya lima konsep hukum yang ada. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam, atau bahkan tak jarang dipercaya juga sebagai bagian dari kaidah-kaidah yang supranatural sifatnya. Kedua, hukum dikosepkan sebagai kaidah-kaidah positip yang berlaku umum in abstracto pada suatu waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi, atau yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses-proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim menyelesaikan kasus atau perkara, yang berkemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk menyelesaikan perkaraperkara berikutnya. Keempat, hukum dikonsepkan sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik  dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru. Kelima, hukum dikonsepkan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat. Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hlm. 25
[42] Ibid.,Baca disertasi Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum., Dalam penelitian kualitatif dikenal 4 (empat) tipe triangulasi, yaitu triangulasi sumber (source triangulation), triangulasi metode (method triangulation), triangulasi peneliti (investigator triangulation), dan triangulasi teori (theory triangulation). Triangulasi sumber memungkinkan peneliti melakukan pengecekan dan pengecekan ulang serta melengkapi informasi. Triangulasi metode bertujuan untuk melengkapi informasi dengan menggunakan metode lain. Triangulasi peneliti dimungkinkan jika penelitian dilakukan secara kelompok. Hal ini dipandang penting karena dalam menelaah fenomena, setiap peneliti menelaah dari perspektif yang berbeda. Terakhir triangulasi teori yaitu mengunakan teori yang berbeda dalam memeriksa data yang sama; Baca Norman K.Denzin dalam Sudarwan Danim. Hlm. 30