KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMIDANAAN DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum
Oleh :
Dr. M. Syamsudin. S.H.,M.Hum.
Oleh :
NAMA : ABDUL MUTALIB
S.H
N.P.M : 15912001
BKU : HUKUM KESEHATAN
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah yang sangat serius di Indonesia soal
penegakan hukum tekait pemidanaan, penelitian ini dilatarbelakangi dari
beberapa kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Dan Hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh
lapisan masyarakat, terutama Hukum Pidana merupakan bidang hukum yang mendapat
sorotan paling keras. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pemberitaan mengenai
tindak pidana ringan yang terjadi di
Indonesia. Yang menurut penulis kerugiannya sangat kecil dan seharusnya
diselesaikan dengan standar pemeriksaan biasa, sangat bertentangan dengan asas trilogi
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan atau lazim disebut dengan contante justitie (Pasal 24 ayat (4) jo
Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).
Yang levelnya masih kalah jauh, jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang
sangat besar kerugiannya. Adapun kasus-kasus tersebut antara lain seperti
berikut:
1.
Nenek Minah,
warga Banyumas, Jawa Tengah, didakwa mencuri tiga buah kakao atau cokelat di
perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan pada 2009 lalu. Dia mengaku,
berencana menjadikan buah-buah kakao itu sebagai benih. Tanpa didampingi
penasihat hukum, Minah harus menjawab semua pertanyaan majelis hakim. Akhirnya
majelis hakim menjatuhkan hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan
tanpa harus menjalani kurungan tahanan.
2.
Rasminah,
nenek berusia 60 tahun harus mendekam di LP Tangerang, Banten. Dia
dituduh majikannya, Siti Aisyah Margaret, mencuri 6 piring pada Juni 2010.
Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Desember 2010. Memutuskan untuk membebaskan
dirinya. Namun pada 30 Januari 2012, Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah.
MA mengganjarnya dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Meski begitu, majelis hakim
Artidjo Alkostar menyatakan, Nenek
Rasminah tidak bersalah.
3.
Pasangan kakek Anjo Lasim (70) dan nenek
Jamilu Nani (75), warga Desa Tenggela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo
harus menghadapi meja hijau pada 2010 lalu. Keduanya dituntut 3 bulan penjara
lantaran dituduh mencuri 6
batang bambu di lahan milik tetangga mereka. Majelis hakim
Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo akhirnya membebaskan keduanya setelah
dinilai tak bersalah.
4.
Nenek Artija (70) menjadi terdakwa
setelah dilaporkan
oleh anak kandungnya sendiri ke polisi. Dia dilaporkan anaknya,
Manisah atas tuduhan mencuri 4 batang pohon. Padahal, pohon itu ditanam oleh
sang nenek di pekarangan rumahnya. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Jember
akhirnya menghentikan persidangan kasus itu lantaran sudah ada kesepakatan
damai antara Manisa dengan Artija.
5.
Nenek Asyani
alias Buk Muaris didakwa mencuri 7 batang pohon jati dari lahannya sendiri.
Pihak Perhutani yang memperkarakan nenek Asyani dan 3 orang lainnya menilai
kasus pencurian ini termasuk tindak pidana umum dan memang harus dipidanakan.
Karena jika tidak, Perhutani-lah yang harus dipidanakan atau didenda sesuai UU
No 18 Tahun 2013. Namun sang nenek bersikukuh tidak melakukan pencurian 7
batang kayu jati seperti yang dituduhkan polisi. Bersama 3 terdakwa lainnya,
wanita berusia 63 tahun itu pun ditangguhkan penahanannya. Meski demikian kasus
hukum nenek Asyani
tetap berlanjut. Kamis 19 Maret 2015, dia kembali menjalani sidang lanjutan di
Pengadilan Negeri Situbondo.
6.
Harso Taruno,
kakek 67 tahun di Yogyakarta juga mengalami masalah seperti nenek Asyani. Dia
dilaporkan ke polisi karena dituduh menebang pohon di kawasan Hutan Suaka
Margasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul, DIY.
Karena tuduhan itu, Harso dinilai merusak hutan dan melawan hukum. Dia pun
dituntut 2 bulan penjara dan denda Rp 400 ribu subsider 1 bulan penjara. Dan
sempat mengecap sel bui selama 1 bulan. Namun, Selasa 17 Maret 2015, majelis
hakim PN Wonosari yang diketuai Yamti Agustina menyatakan Harso tak bersalah.
Maraknya kasus tindak pidana ringan
di masyarakat yang berujung pada meja hijau semakin menambah jumlah tahanan di
Rumah Tahanan (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Sebuah contoh nyata
dimana sistem formil pidana dijadikan alat represif, tanpa memperhatikan
kepentingan si pelaku (offender)
sebagaimana pada contoh kasus diatas,
demi hanya mencapai keadilan procedural tanpa melihat keadilan substansi juga.
Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana
seharusnya dilakukan melalui pendekatan sosiolegal dan pendekatan kasus secara
rasional. Pendekatan sosiolegal merupakan pendekatan interdispliner dalam
mengkaji hukum yang memanfaatkan sosiologi. Sementara pendekatan kasus menurut;
Goodheart, dilakukan dengan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu penelitian ini agar diketemukannya fakta material tersebut, baik hakim maupun
para pihak akan mencari hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta
tersbut.
Dari sisi lain jika tidak, akan
menimbulkan ‘the
crisis of overcriminalization’ (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal
law’ (krisis pelampauan dari hukum pidana). Pada akhirnya jika hal tersebut
terjadi maka Rutan maupun Lapas sebagai pintu terakhir dalam sistem peradilan
pidana akan mengalami lonjakan penghuni
yang berakibat pada terjadinya kelebihan kapasitas ( over capacity) dan tidak tercapainya tujuan dari pemidanaan itu
sendiri.
Dalam Proses dan sistem peradilan
pidana yang berwala dari penyidikan oleh pihak kepolisian dan berpuncak pada
penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman oleh
lembaga pemasyarakatan. Dari semua proses pidana itulah yang saat ini banyak
mendapat sorotan dari masyarakat karena integritas dan kompetensinya yang jauh
dari rasa keadilan.
A.
Rumusan Masalah
Dengan landasan pemikiran tersebut.
Maka permasalahan penelitian ini yaitu:
Bagaiman kebijakan hukum pidana terhadap pemidanaan dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia terkait dengan perkara tindak pidana ringan yang jauh
dari asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan?
B.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk menggali dan menemukan keadilan substantif dan prosedural
dalam menangani perkara tindak pidana ringan. Penggalian dan penemuan
keadilan ini sangat urgen (penting)
sebab pelaku tindak pidana ringan juga sebagai masyarakat pencari keadilan.
Dengan melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana ringan dan
putusan hakim tersebut akan dapat diketahui kualitas putusan dalam rangka
memenuhi tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan sebagaimana irah-irah
dalam setiap putusan hakim yaitu “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa”. Keadilan itu meliputi baik dimensi formalnya maupun substansinya.
C.
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan bermanfaat baik secara toritis maupun praktis. Manfaat teoritis
diorientasikan untuk pengembangan keilmuan dibidang hukum pidana terutama berkaitan
dengan teori-teori pemidanaan putusan oleh hakim dan masalah keadilan.
Berdasarkan
tataran analisisnya atau tingkat abstraksinya, pengembanan hukum teoritis
dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pertama;
tataran ilmu-ilmu positip, yaitu tataran yang paling rendah tingkat
abstraksinya, disebut ilmu-ilmu hukum; kedua,
tataran yang lebih abstrak, tingkat abstraksinya disebut Teori Hukum; dan ketiga, tataran filsafat yang
abstraksinya paling tinggi disebut Filsafat Hukum. Filsafat hukum meresapi
semua bentuk pengembanan hukum teoritis dan praktis. Pengembanan hukum praktis
adalah kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputih kegiatan pembentukan hukum,
penemuan hukum, penegakan hukum dan bantuan hukum.
Kemudian
dari aspek studi ini dimaksudkan untuk pengembanan hukum yang terkait dengan
teori hukum dan filsafat hukum, yakni terkait dengan teori keadilan yang substantif
dan keadilan prosedural, teori budaya hukum, bekerjanya hukum, teori pemidanaan dan teori pembaharuan hukum pidana.
Dari aspek praktik, studi ini diharapkan dapat mengetahui, memahami dan
menjelaskan kegiatan aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi) dalam
penegakan hukum dan penemuan hukum, terkait kasus tindak pidana ringan.
D.
Tinjauan
Pustaka
Penelitian
dengan permasalahan sebagaimana telah diuraikan, sebatas pengetahuan yang
penulis ketahui sebagian dari disertasi Dr. M. Syamsudin.
Ini merupakan sesuatu yang belum pernah dikaji secara politik hukum pidana
terkait soal pemidanaan dalam kasus tindak pidana ringan, oleh para penstudi
hukum. Kajian-kajian sebelumnya yang mambahas tentang hakim dalam menangani
perkara pemidanaan, tampaknya belum menukik sampai kepada pencarian makna penegakan hukum yang jauh dari asas trilogy peradilan
sederhana, cepat dan berniaya ringan, terutama dari
perspektif budaya hukum, bekerjanya hukum, kemudian soal konsep pemidanaan dan pembahruan hukum pidana
yang kemudian berdampak pada merekonstruksikan budaya hukum terhadap pemidanaan
yang berbasis pada keadilan, yaitu keadilan yang substantif dan keadilan yang
prosedural. Oleh karena itu penegasan tentang orisinilitas ini penting untuk
menghindari pengulangan (duplikasi) kajian dengan sebuah tema dengan fokus studi yang sama.
Penelusuran
terhadap studi-studi terdahulu untuk menentukan orisinalitas studi ini
dilakukan dengan cara melakukan tinjauan kepustakaan yang sejenis baik yang
telah dilakukan oleh para penstudi dari lingkungan disiplin ilmu hukum sendiri
maupun di luar ilmu hukum, terutama ilmu-ilmu
sosial.
Beberapa
kajian yang relevan dengan penulisan ini yang berhasil dihimpun sebagai
perbandingan atas kajian-kajian sebelumnya dapat dilihat sabagai berikut ini:
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Perbandingan dengan kajian sebelumnya
|
1
|
M. Syamsudin
|
2007
|
Dalam
penyusunan disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang menulis tentang: “Rekonstruksi Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum
Progresif”. Studi Pemaknaan Hakim tentang Korupsi. Penelitian ini dari segi
pendekatan agak sedikit punya kesamaan. Metode, dan teori penulis mendapat
inspirasi dari disertasi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada pabak,
dengan ini penulis bias mengutip banyak hal dari disertasi ini. Namun
penelitian ini objek kasusnya berbeda.
|
2
|
Antonius Sudirman
|
2007
|
Dalam menyusun
Tesis di Program Pascasarjana ilmu Hukum UNDIP Semarang menulis tentang:
”Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum
Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar”. Studi ini
meneliti tentang kepribadian hakim Bismar Siregar dan pengaruhnya terhadap
perilaku hukumnya dalam membuat putusan. Beberapa variabel sosiologis yang
turut memberikan andil dalam membentuk kepribadian Bismar meliputi: latar
belakang hidup, rumah tangga, pengalaman kerja sebelum menjadi hakim, agama,
pendidikan, dan lingkungan kerja yang kondusif pada awal karir. Diantara
variabel tersebut yang paling dominan pengaruhnya adalah faktor lingkungan
kerja yang kondusif dan pendidikan hukum informal. Faktor dominan yang
mempengaruhi perilaku hukumnya adalah bukan sistem, struktur, birokrasi
peradilan, bukan faktor perundang undangan dan kekuatan ekstra yudisial,
melainkan faktor sikap, ideologi, keyakinan, dan pemikirannya (kepribadian) yang
selalu tergambar dengan jelas dalam nilai-nilai yang terkandung dalam
putusanputusannya. Penelitian ini meskipun subjeknya hakim, akan tetapi dari
segi fokus dan pendekatan penelitiannya sangat berbeda dengan penelitian
penulis. Di samping itu juga berbeda dari segi subjek, teori, dan metodologi
yang dipergunakan.
|
3
|
Salman Luthan
|
2007
|
Dalam menyusun
disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum UI, menulis tentang: “kebijakan penal
mengenai kriminalisasi di bidang keuangan (studi terhadap pengaturan tindak
pidana dan sanksi pidana dalam UU perbankan, perpajakan, pasar modal dan
pencucian uang”. Studi ini menemukan antara lain bahwa terdapat kecenderungan
kebijakan pemberatan sanksi pidana oleh pembentuk undang-undang dibidang
keuangan, baik sanksi pidana penjara, denda maupun gabungan keduanya. Kajian
ini juga menemukan bahwa falsafah pemidanaan yang digunakan dalam pembentukan
perundang-undangan di bidang keuangan adalah falsafah pemidanaan penangkalan
yang dikombinasikan dengan prinsip proporsionalitas cardinal dan ordinal.
Penelitian ini sangat berbeda dari segi konsep hukum yang digunakan,
pendekatan, metodologi dan fokus penelitiannya. Namun demikian temuan-temuan
studi ini memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana
sanksi-sanksi pidana.
|
4
|
R. Benny Riyanto
|
2006
|
Dalam menyusun
disertasi di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP meneliti tentang: ”Kebebasan
Hakim dalam Memutus Perkara Perdata di Pengadilan Negeri”. Fokus penelitian
ini terletak pada disain kebebasan hakim dalam memutus perkara perdata dalam
konteks hukum subtantif dan hukum acara dalam rangka pembentukan hukum oleh
hakim. Penelitian ini juga sangat berbeda dalam hal topik yang dikaji
meskipun sama-sama mengkaji tentang hakim sebagai fokusnya.Penelitian ini
belum sampai pada membahas makna dibalik putusan-putusan hakim tersebut dan
topiknya masalah keperdataan.
|
5
|
Busyro Muqoddas
|
1996
|
Dalam menyusun
tesis di Program Magister Hukum Pascasarjana UGM Yogyakarta meneliti tentang:
”Penerapan Hukum Tidak Tertulis dalam Putusan Hakim”. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa penerapan hukum tidak tertulis dalam praktek putusan hakim
hanya mungkin dilakukan hakim bilamana hakim berpegang teguh pada jiwa
ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970. Pelaksanaan pasal ini
memerlukan penguasaan hakim terhadap materi kasus yang menjadi sengketa dan
kemudian mencari serta menentukan pasal-pasal mana di antara hukum tertulis
yang paling mendekati kesesuaian dengan dengan isi kasusnya, kemudian
mensenyawakan jiwa pasal-pasal ini dengan asas-asas hukum tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat. Penelitian ini lebih kepada penerapan hukum oleh
hakim dalam menyelesaikan kasus konkrit di bidang hukum keperdataan
berdasarkan hukum tidak tertulis dan belum sampai pada penggalian nilai-nilai
di balik putusan hakim. Penelitian ini sangat berbeda dari segi konsep,
teori, metode dan pendekatan yang digunakan.
|
6
|
Nancy Panington dan Reid Hastie
|
1993
|
Meneliti
model-model pengambilan keputusan oleh juri atau hakim. Model cerita
digunakan oleh juri untuk menjelaskan proses pengambilan putusan di
persidangan. Para juri menyusun cerita selama mendengarkan bukti-bukti di
persidangan. Selanjutnya mereka mempelajari beberapa kemungkinan putusan dan
akhirnya mereka memilih keputusan yang paling cocok dengan cerita yang telah
disusun untuk memahami bukti-bukti yang didengar dalam menetapkan putusan.
Penelitian ini berada di wilayah Psikologi Hukum yang sangat berbeda dari
segi pendekatan, konsep, dan metodologinya. Namun demikian teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini akan penulis gunakan untuk menganalisis hakim
dalam merekonstruksi putusan tentang korupsi.
|
7
|
Didit Supriyadi
|
2014
|
Dalam menyusun
tesis, di Program Magister pasca serjana UII Yogyakarta, meneliti tentang: “
Aspek Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme”.
Pembahasan dan analisanya; factor yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana yang tepat bagi anak pelaku terorisme. Penelitian
ini berbeda dari segi objek yang dikaji dan perkaranya. Namun memiliki
kesamaan dari segi kajian soal pemidanaan dan memberikan inspirasi bagi
penulis.
|
8
|
Effendi Mukhtar
|
2008
|
Program
Magister Hukum pascasarjana UII Yogyakarta.Tesis tentang: “implementasi
tentang teori pemidanaan dalam putusan perkara psikotropika oleh hakim di
pengailan negeri Yogyakarta”. Penelitian ini lebih kepada, deskripsi kasus
pidana psikotropika, alasan hakim menganut dan atau menerapkan pemidanaan.
Penelitian ini berbeda dari perkara tapi ada kesamaan dalam soal penerapan
pemidanaan.
|
9
|
Elfi Marzuni
|
2005
|
Dalam menyusun
tesis di Program Magister Pascasarjana UII. Menulis tentang: “penerapan asas
kebebasan hakim dalam mengambil putusan perkara pidana”. Penelitian ini
meskipun subyeknya hakim, akan tetapi dari focus dan pendekatan berbeda,
selain itu juga berbeda dari segi teori, dan metodologi yang dipergunakan.
|
E.
Landasan
Teori
Landasan
teori dalam penelitian ini adalah sebagai alat analisis masalah penelitian.
Landasan teori ini difungsikan
untuk memberikan penjelasan-penjelasan, predeksi-prediksi, dan juga kontrol terhadap
permasalahan, realitas empirik dan juga gejala hukum yang akan dikaji.
Berangkat
dari kebutuhan penelitian tersebut, teori yang dianggap paling tepat untuk
menjelaskan dan memahami realitas
hukum yang sedang dikaji dalam studi ini adalah Teori Keadilan: keadilan substantif
dan keadilan prosedural, yang dielaborasikan dengan teori-teori pendukung, yang
meliputi Teori Budaya Hukum, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Pemidanaan dan teori
pembaharuan hukum pidana.
Asumsi
dasar teori keadilan dapat kemukakan, bahwa pengertian keadilan memiliki
sejarah pemikiran yang panjang. sejak Socretes hingga Francois Geny, teori-teori
hukum alam mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam ini
juga mengutamakan “the search for justicie”.
teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan
dan kemakmuran.
Istilah
keadilan (justicie) berasal dari kata
“adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang
benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa defenisi dapat
disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan
sikap dan tindakan dalam hubungan antara manusia. keadilan berisi sebuah tuntutan agar
orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakuan
tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan semua orang diperlakukan
sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Secara
hakiki, dalam diskursus hukum, sifat-sifat dari keadilan itu dapat dilihat
dalam dua arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu
berlaku secara umum, sedangkan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap
hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat. Namun apabila
ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran menganai keadilan itu
berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang
keadilan yang tertuang dalam banyak literature, tidak mungkin tanpa melibatkan
tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada.
Keadilan
dalam garis besarnya terbagi atas dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan
yang metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang
metafisik diwakili oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya
dari inspirasi dan intuisi. Sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh
pemikiran Aristoteles,
bahwa sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang
keadilan.
Dalam
diskursus konsep keadilan, banyak ditemukan berbagai pengertian keadilan,
diantaranya keadilan menurut Aristoteles dan keadilan menurut John Rawls. Jika
dikaitkan dengan penelitian yang akan dikaji menurut Aristoteles, keadilan
adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari
peraturan Negara dan aturan-aturan
ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Sedangkan John Rawls
mengkonsepkan keadilan sebagai fairness,
yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang
berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh
suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat
yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.
Dalam
konteks penegakan hukum oleh aparat hukum mulai dari Polisi,
Jaksa, sampai pada hakim atau dari penyidikan, penuntutan hingga putusan hakim terutama
yang sering
disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan
keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini apa yang dimaksud dengan keadilan
prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang
dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun
syarat-syarat beracara di pengadilan. Keadilan substantif adalah keadilan yang
didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsive
sesuai hati nurani.
Gustav Radbruch
mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang mengandung unsur-unsur Keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit). agar terwujud putusan
hakim yang berkualitas yang memenuhi harapan pencari keadilan, yang
mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Artinya dengan dasar itu, aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, hakim) dalam menjalankan tugasnya demi mencapai tujuan keadilan
yang di idamkan harus bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun
legislatif. Dengan kebebasan demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil
putusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinan yang
seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, maka
hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak
masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
Dalam praktik terkadang tidak mudah untuk menghadirkan
ketiga unsur itu secara proporsional dalam satu putusan, terutama antara unsur
keadilan dan kepastian hukum bisa saja saling bertentangan.
Disamping beberapa contoh kasus yang sudah disebutkan sebelumnya, untuk
menggambarkan adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan (substantif)
dan kepastian hukum (keadilan prosedural), yaitu dalam kasus perkara tindak
pidana ringan.
Untuk menganalisis permasalahan ini, Teori Keadilan
akan dielaborasikan dengan konsep-konsep yang terkait dengan budaya hukum dalam
konteks penegakan hukum. Konsep budaya hukum dibatasi pada budaya hukum
internal, yaitu budaya hukum dari para aktor institusi (polisi, jaksa, hakim)
yang menjalankan hukum hingga sampai pada pengadilan dan berakhir pada putusan.
Konsep budaya hukum ini berisi cara-cara tertentu yang bergerak menuju hukum
untuk mencapai kepentingan-kepentingan para aktor hukum berhadapan dengan
institusi hukum. Hal tersebut berdasarkan pada pengaruh faktor-faktor besarnya
pengaruh dorongan kepentingan, kinginan, harapan, dan pendapat aktor terutama
masyarakat luas tentang hukum.
Konsep budaya hukum internal ini digunakan untuk
menganalisis dan menjelaskan nilai-nilai, sikap, dan moralitas aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim) terutama hakim dalam proses memutuskan perkara
tindak pidana ringan. Untuk memperkuat dan mempertajam analisis penulisan ini,
juga mengelaborasikan dengan konsep bekejanya hukum dimasyarakat.Bekerjanya hukum dalam penegakan hukum adalah suatu
proses dilakukannya suatu upaya untuk menegakkan atau memfungsi norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan kehidupan masyarakat
dengan Negara (institusi). Berbicara mengenai bekerjanya hukum selalu
melibatkan kekuatan-kekuatan social, budaya, ekonomi dan politik.
Dengan demikian hasil bekerjanya berbagai macam faktor akan mempengaruhi sistem
penegakan hukum.
Selanjutnya untuk terpenuhinya keadilan secara
proporsional, teori keadilan yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedul,
dielaborasikan dengan Teori pemidanaan. Pemidanaan diartikan sebagi tahap
penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Ada
beberapa perspektif filsafat tentang pemidanaan, yakni perspektif eksistensialisme, sosialisme, dan perspektif
pancasila.
Kemudian untuk
menjelaskan masalah penulisan ini secara mendetail mengenai pemidanaan agar
tercapainya tujuan sebenarnya pemidanaan dijatuhkan. Teori pemidanaan meurut
Adami Chazawi,dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) golongan besar; Teori absolut
atau teori pembalasan (retributive) atau vergeldings
theorien), Teori
Relatif atau teori tujuan (utilitarian atau
doel theorien), Teori Gabungan (verenegins theorien).
Menurut Teori absolut atau teori pembalasan (retributive),
pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan tindak pidana.
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan tersebut.
Akan tetapi satu hal yang penting untuk mrngatakan bahwa sanksi hukum bisa
secara moral diperbolehkan, namun di sisi lain, ada pihak yang mempertanyakan
jenis atau atau kondisi penjara seperti apa yang secara moral diinginkan?.
Artinya, dari segala bentuk teori hukuman retributive, bagaimanapun, adalah
bahwa penjahat harus dihukum sebanding (atau setidaknya tidak lebih dari
perbuatannya) dengan kejahatan mereka.
Selanjutnya menurut teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel theorie); memidana bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari
keadilan. Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang
melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Jadi dasar pembenaran menurut teori relative terletak pada tujuan
pidana diputuskan agar supaya orang tersebut tidak melakukan kejahatan.
Jadi untuk mencapai tujuan previsi atau perbaikan sipelaku, tidak hanya secara negatif
maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik,
bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini
misalnya berupa mengawasi saja tindak tanduk sipelaku atau menyerahkan kepada
suatu lembaga swasta dalam bidang social, untuk menampung orang-orang yang
perlu di didik menjadi anggota masyarakat yang paham akan hukum.
Kemudian Teori Gabungan (verenigings theorieen),teori ini menggabungkan kedua teori diatas
dengan memperhitungkan pembalasan dari hukum pidana, prevensi general serta
tujuan pemidanaan.
Teori ini muncul karna terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori
relative, diataranya yaitu:
Kelemahan teori absolut:
·
Dapat menimbul ketidak adilan. Misalnya pada pembunuhan
tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
·
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?.
Kelemahan teori
relatif:
·
Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejehatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
·
Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan
itu semata-mata untuk memprbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan
kepuasan dengan demikian diabaikan.
·
Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit
dilaksanakan. Misalnya terhadap residivis.
Grotius (1583-1645) mengembangkan teori gabungan yang
menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang
berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat
sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tetapi oleh pelaku
dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Selanjutnya
dalam perspektif kebijakan hukum pidana, ada beberapa faktor yang dapat menjadi
alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana, menurut Prof. Salman Luthan dan
Prof. Muladi:
·
Hukum pidana yang sudah ada sudah tidak bersesuaian
dengan perkembangan sosial dan keperluan masyarakat yang berkenaan. Hukum dan
undang-undang itu tidak lagi relevan dengan keadaan sosial masyarakat yang
hendak diaturnya, umpamanya dengan wujudnya kejahatan baru;
·
Sebahagian ketentuan dalam hukum pidana yang sudah
ada, tidak sejalan dengan ide-ide pembaharuan/reformasi yang membawa pada
nilai-nilai hak asasi manusia, nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, demokrasi dan
nilai moral yang berkembang di masyarakat;
·
Bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sudah
ada, mewujudkan ketidak adilan (unjastice)
dan bahkan merusak hak asasi manusia.
·
Hukum dan undang-undang pidana yang sudah ada,sudah
tidak bias mengawal dan mengendalikan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka untuk mewujudkan hukum pidana yang baik,
berkemajuan dan realistis maka diperlukan kerja sama yang terpadu antara
ilmuwan (scholar) dengan praktisi
hukum (praktitioners), antara pakar
kejahatan (criminologist) dengan advokat (lawyers),
sehingga dapat disatukan gagasan-gagasan pencegahan kejahatan dengan idea-idea
teknik perundang-undangan dalam proses perancangan hukum pidana.
Kemudian Prof. Sudarto mengemukakan bahwa politik
hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum
pidana dan sistem peradilan pidana memilih hukum dan undang-undang yang
bersesuaian, paling memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna
pula bahwa politik hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum
dan menjangkau masa depan.
F.
Metode Penelitian
1.
Tipe, Pendekatan dan Objek Penelitian
penelitian ini terbilang dalam penelitaia hukum non-doktrinal dengan
pendekatan sosiolegal dan pendekatan kasus. Objek yang dikaji adalah Hukum yang dikonsepkan sebagai simbol
(putusan hakim) yang penuh dengan makna
dan nilai hasil konstruksi mental hakim dalam menangani perkara tindak pidana
ringan yang kerugiannya sangat kecil dan sesuai dengan asas trilogi peradilan
yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Putusan hakim yang
dimaksut yaitu
dipahami sebagi hasil konstruksi mental hakim yang kebenaran isinya tergantung
bagaiman hakim melakukan interpretasi terhadapa fakta-fakta yang terkait dengan
tindak pidana ringan. Untuk mengungkap realitas objek tersebut digunakan
teori Teori
Keadilan yaitu
keadilan substantif dan keadilan prosedural, yang dielaborasikan dengan Teori Budaya
Hukum, Teori
Bekerjanya Hukum,
Teori Pemidanaan dan teori pembahruan hukum pidana.
2.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yang
bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber pada hasil
wawancara dan observasi. Adapun informan yang di wawancarai dalam penelitian
ini adalah pihak penegak hukum (hakim) di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Data sekunder bersumbar dari berbagai
sumber seperti buku, jurnal,
tesis/disertasi, dokumen-dokumen, laporan-laporan maupun
arsip-arsip resmi yang dapat mendukung kelengkapan data primer.
3.
Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah
dengan cara menganalisis data secara
kualitatif. Teknik ini dipergunakan untuk menggambarkan masalah yang ada
berdasarkan hasil observasi dan wawancara dan selanjutnya data
dianalisis/diolah dengan menggunakan teknik "interpretase
data" yaitu analisis.
Analisis data dalam penelitian ini berlangsung
bersamaan dengan proses pengumpulan data atau memulai tiga tahapan yang di kemukakan
oleh Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008), yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan Kesimpulan.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut :
1. Reduksi
Data (data reduction)
Data
yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat
secara teliti dan rinci. Karena semakin lama peneliti kelapangan, maka jumlah
data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan
analisa data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih
hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting.
2. Penyajian
data (data display)
Setelah
data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam
penelitian ini yang memakai pendekatan kualitatif maka penyajian data bisa di
lakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan
sejenisnya. Dengan mendisplaykan data
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.
3. Kesimpulan
Langkah
ketiga dalam analisis
data adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang di kemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
4.
Validasi Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dimungkinkan
terdapat kelemahan. Untuk mengatasi hal tersebut yakni agar data tetap terjamin
validasi (kesahihan), objektifitas dan keterandalannya ditempuh teknik
pemeriksaan triangulasi.
Dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber dan data. Triangulasi sumber
dan metode dilakukan denga cara melakukan cek silang antara sumber data dan
metode yang satu dengan yang lainnya, baik yang diperoleh lewat metode
wawancara, observasi, studi pustaka maupun catatan lapangan.
Daftar
Pustaka