Politik
Hukum Pidana Dan Penegakan Hukum: Studi Pembangunan Hukum Dalam
Penerapan Pemidanaan
Oleh: Abdul mutalib
Penegakan Hukum Dan Pemidanaan
Indonesia
adalah sebuah negara hukum yang berdasarkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Negara yang masyarakatnya sadar hukum akan menjadikan hukum sebagai
tameng yang mampu melayani dan memberikan keadilan. Penegakan
hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji, khususnya terhadap kasus tindak pidana
ringan yang pelakunya seorang yang tua rentan dan tidak dapat menjalani hukuman
penjara.
Hukum di Indonesia
tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Hukum
Pidana merupakan bidang hukum yang mendapatkan sorotan paling keras bahkan
celaan diantara bidang-bidang hukum lainnya. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya pemberitaan mengenai tindak pidana yang terjadi di Indonesia melalui
televisi, surat kabar dan media elektronik lainnya. Banyak kejadian yang
menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang dilakukan oleh maling sendal
hingga ‘maling uang rakyat’.
Ada beberapa kasus
tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia belakangan ini, yang menurut
penulis kerugiannya sangat kecil dan seharusnya diselesaikan dengan standar
pemeriksaan biasa, sangat bertentangan dengan asas trilogi peradilan yang cepat,
sederhana dan berbiaya ringan. Yang levelnya masih kalah jauh,jika dibandingkan
dengan kasus korupsi yang sangat besar kerugianya. Antara lain seperti berikut:
1.
Nenek Minah,
warga Banyumas, Jawa Tengah, didakwa mencuri tiga buah kakao atau cokelat di
perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan pada 2009 lalu. Dia mengaku,
berencana menjadikan buah-buah kakao itu sebagai benih. Tanpa didampingi
penasihat hukum, Minah harus menjawab semua pertanyaan majelis hakim. Akhirnya
majelis hakim menjatuhkan hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan
tanpa harus menjalani kurungan tahanan.
2.
Rasminah,
nenek berusia 60 tahun harus mendekam di LP Tangerang, Banten. Dia
dituduh majikannya, Siti Aisyah Margaret, mencuri 6 piring pada Juni 2010.
Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Desember 2010. Memutuskan untuk membebaskan
dirinya. Namun pada 30 Januari 2012, Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah.
MA mengganjarnya dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Meski begitu, majelis hakim
Artidjo Alkostar menyatakan, Nenek Rasminah
tidak bersalah.
3.
Pasangan kakek Anjo
Lasim (70) dan nenek Jamilu Nani (75), warga Desa Tenggela, Kecamatan Tilango,
Kabupaten Gorontalo harus menghadapi meja hijau pada 2010 lalu. Keduanya
dituntut 3 bulan penjara lantaran dituduh mencuri 6
batang bambu di lahan milik tetangga mereka. Majelis hakim
Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo akhirnya membebaskan keduanya setelah
dinilai tak bersalah.
4.
Nenek Artija (70)
menjadi terdakwa setelah dilaporkan
oleh anak kandungnya sendiri ke polisi. Dia dilaporkan anaknya,
Manisah atas tuduhan mencuri 4 batang pohon. Padahal, pohon itu ditanam oleh
sang nenek di pekarangan rumahnya. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Jember
akhirnya menghentikan persidangan kasus itu lantaran sudah ada kesepakatan
damai antara Manisa dengan Artija.
5.
Nenek Asyani
alias Buk Muaris didakwa mencuri 7 batang pohon jati dari lahannya sendiri.
Pihak Perhutani yang memperkarakan nenek Asyani dan 3 orang lainnya menilai
kasus pencurian ini termasuk tindak pidana umum dan memang harus dipidanakan.
Karena jika tidak, Perhutani-lah yang harus dipidanakan atau didenda sesuai UU
No 18 Tahun 2013. Namun sang nenek bersikukuh tidak melakukan pencurian 7
batang kayu jati seperti yang dituduhkan polisi. Bersama 3 terdakwa lainnya,
wanita berusia 63 tahun itu pun ditangguhkan penahanannya. Meski demikian kasus
hukum nenek Asyani
tetap berlanjut. Kamis 19 Maret 2015, dia kembali menjalani sidang lanjutan di
Pengadilan Negeri Situbondo.
6.
Harso Taruno,
kakek 67 tahun di Yogyakarta juga mengalami masalah seperti nenek Asyani. Dia
dilaporkan ke polisi karena dituduh menebang pohon di kawasan Hutan Suaka
Margasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul, DIY.
Karena tuduhan itu, Harso dinilai merusak hutan dan melawan hukum. Dia pun
dituntut 2 bulan penjara dan denda Rp 400 ribu subsider 1 bulan penjara. Dan
sempat mengecap sel bui selama 1 bulan. Namun, Selasa 17 Maret 2015, majelis hakim PN
Wonosari yang diketuai Yamti Agustina menyatakan Harso tak bersalah.[1]
Sebuah contoh nyata dimana
sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan
kepentingan si korban (victim) dan
pelaku (offender), demi hanya
mencapai keadilan prosedural tanpa melihat keadilan substansi juga. Maraknya
tindak pidana ringan (tipiring) di masyarakat yang berujung pada meja hijau,
disisih lain semakin menambah jumlah tahanan di Rumah Tahanan (rutan) dan
Lembaga Pemasyarakatann (lapas). Sebagai salah satu masalah sentral dalam
poitik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan
rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan ‘the crisis of overcriminalization’ (krisis kelebihan kriminalisasi) dan
“the crisis of overreach of the criminal
law’ (krisis pelampauan dari hukum pidana).[2]
Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi maka Rutan maupun Lapas sebagai pintu
terakhir dalam sistem peradilan pidana akan mengalami lonjakan penghuni yang
berakibat pada terjadinya kelebihan kapasitas (over capacity) Dan tidak tercapainya tujuan dari pemidanaan itu
sendiri.
Dalam
sebuah negara yang sedang mengalami masa transisi dari negara yang berbasis
pada masyarakat agraris (tradisional) ke negara yang berbasis pada masyarakat
industri (modern), peran hukum di bidang pidana
sangat
penting dan Indonesia bukan merupakan pengecualian. berbagai upaya
telah dilakukan di Indonesia agar perangkat hukum dapat mendukung Indonesia
sebagai sebuah negara modern yang
sesuai dengan yang di cita-citakan.
Tulisan
ini hendak menelaah lebih jauh apa yang menjadi arah kebijakan pembangunan
hukum dalam penerapan pemidanaan. Tulisan ini
tidak hanya membahas peraturan perundang-undangan semata tetapi jauh lebih
penting bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut berjalan di masyarakat.
Satu hal yang pasti, peraturan perundang-undangan tidak berjalan sebagaimana
yang diharapka. Tulisan
ini akan membahas,
apa yang menjadi politik hukum sebagai arah kebijakan pembangunan hukum dalam penerapan di Indonesia.
Politik Hukum
Pembangunan Hukum Dalam Penerapan Pemidanaan Di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat
secara sengaja oleh institusi negara.[3]
Dalam konteks demikian peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara
tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan
tertentu.
Tujuan
dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam.
Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan
disebut sebagai politik hukum (legal policy).
Politik
hukum dapat dibedakaan dalam dua dimensi. Dimesi pertama adalah politik hukum
yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai “Kebijakan Dasar” atau yang
dalam bahasa Inggris disebut sebagai basic policy. Dibidang hukum pidana yang terkait dengan pemidanaan, UUD ataupun Kebijakan Dasar
dari UU kita, membrikan hak dan jaminan perlindungan kepada
setiap warga Negara demi tercapai keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai dalam
Pancasila. Misalnya, dalam KUHAP pasal 193 ayat (1) mengatakan pengadilan
menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang di dakwakan dan rumusan pasal 183 KUHAP bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Jika dikaitkan dengan contoh kasus diatas, unsur-unsur dalam
tindak pidana memang terpenuhi. Akan tetapi jika ditelah lebih dalam kasus
tersebut sangat jauh dari asas trilogy peradilan yang cepat, sedarhana dan
berbiaya ringan.
Artinya, dalam penegakan hukum berdasarkan keadilan,
penegak hukum (Hakim, jaksa, Polisi) dalam menjalankan tugas, missal Hakim
dalam putusan-putusannya tidak menerima undang-undang atau aturan-aturan begitu
saja tanpa mengamati kenyataan tentang bagaimana sesungguhnya pesan-pesan,
janji-janji serta kemauan-kemauan hukum (UU) dijalankan. Contoh lain, dibidang
hukum yang berkaitan dengan perekonomian, kebijakan dasar dari UU Hak
Cipt adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya. Kebijakan
Dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang sudah tidak mampu
lagi membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali
haknya dari debitur.
Dimesi
kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik
pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik
hukum dalam dimensi ini disebut sebagai
“Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai enactment
policy. Keberadaan Kebijakan Pemberlakuan sangat dominan di Negara
Berkembang mengingat peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen
politik oleh pemerintah atau penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif
maupun negatif.[4]
Selanjutnya, secara singkat menurut
Dr Ni’matul Huda, politik hukum adalah kebijakan Negara yang dituangkan dalam
undang – undang yang dipakai secara nasional dan berbicara desain hukum kedepan.[5]
Jika dalam
mempositifkan nilai – nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat
hanya bepijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula
pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten menolak pandangan Hans
kelsen yang melihat putusan–putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan
logical bahan–bahan positif, yakni undang–undang dan vonis–vonis. Menurut
scholten, bahan–bahan positif itu ditentukan secara historis dan
kemasyarakatan. [6]
Kemudian Prof Sudarto mengemukakan
bahwa poltik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional (logis) untuk
mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dan system
peradilan pidana memilih hukum dan undang – undang yang bersesuaian, paling
baik dan memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa
politik hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan
menjangkau masa depan.[7]
Maka untuk mewujudkan
hukum pidana yang baik, berkemajuan dan realistik maka diperlukan kerjasama
yang terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (practitioners), antara pakar kejahatan (criminologist) dengan advocad (lawyers), sehingga dapat disatukannya
gagasan–gagasan pencegahan kejahatan dengan idea–idea teknik perundang–undangan
dalam proses perancangan hukum pidana.[8] Untuk itu Dalam suatu negara,
institusi yang memiliki kekuasaan untuk membentuk UU merupakan pihak akhir yang
menentukan apa yang menjadi Kebijakan Pemberlakuan suatu UU.
Dalam
filsafat pemidanaan bersemayam ide–ide dasar pemidanaan yang menjernihkan
pemahaman tentang hakekat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum
terhadap perbuatan pidana dan otoritas public kepada Negara berdasarkan atas
hukum untuk melakukan pemidanaan.[9]
Ada beberapa perspektif filsafat tentang pemidanaan. Yakni
perspektif eksistensialisme, sosialisme, dan perspektif pancsila;
eksistensialisme memusatkan pada eksistensi individu sebagai manusia yang
bebas. Karnanya, eksistensialisme menempatkan persoalan hak, kewajiban, hukum
dan pemidanaan dalam sumbernya yang paling fundamental yakni hakekatnya manusia sebagai individu yang bebas.[10]
Bagi
Jean Paul Sartre (1905-1980), kebebasan
adalah mutlak. Konsekuensinya, pidan dipandang sebagai hal yang tidak berguna,
karena pidana merupakan pembatasan terhadap kebebasan mutlak. Sebaliknya,
Albert Camus (1913-1960) berpendapat
bahwa kebebasan mutlak itu tidak ada. Kebebasan dalam pelaksanaannya harus
dikaitkan dan memperhatikan kebebasan individu lain. Atas dasar pemikiran
demikian, Camus berpendirian bahwa hukum dan pidana merupakan sarana untuk
memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk
menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada Negara untuk memidana.[11]
Berbeda dengan
pandangan ini, Perspektif sosialisme lebih menekankan aspek Negara ketimbang
individu warganya atau lebih mementingkan kepentingan
Negara bukan individu. Namun di Indonesia menganut paham yang berbeda dengan
kedua paham tersebut. Falsafah Negara Indonesia adalah pancasila; pandangan hidup bangsa Indoneasi, dasar filsafat
bangsa Indonesia, dasar tatanan hukum dan sebagai ideologi bangsa Indonesia[12]
yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
individu, masyarakat, bangsa dan kepentingan Negara.[13]
Penegakan
Hukum dalam Pembangunan Hukum Terhadap Pemidanaan
Dalam pembangunan hukum terhadap pemidanaan, penegakan
hukum memiliki perang yang sangat penting. Sayangnya di Indonesia penegakan
hukum tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kaitan ini perlu
dibahas secara mendasar apa yang menjadi penyebab lemahnya penegakan hukum.
Hanya saja masalah penegakan hukum tidak dapat dilihat dalam perspektif hukum
semata. Perspektif harus dilakukan secara luas mengingat penegakan hukum bukan
sekedar masalah hukum.
Artinya dalam penegakan hukum berdasarkan keadilan, hakim
dalam putusan-putusanya yang kaitanya dengan kasus-kasus yang sekarang ini,
tidak menerima undang-undang atau aturan hukum begitu saja tanpa
mengamati kenyataan tentang
bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum
(UU) itu dijalankan, sama artinya dengan membuat mitos tentang hukum.
Dalam studi hukum ada sebuah kajian yang disebut sebagai Law and Development yang merupakan
kajian yang khas bagi permasalahan hukum di negara-negara yang baru merdeka. Kemunculan kajian Law and
Development terkait fenomena transplantasi hukum di banyak negara yang baru
merdeka dalam melakukan pembangunan (selanjutnya disebut “Negara Berkembang”).
Di tahun 1960an, banyak Negara Berkembang tidak menyia-nyiakan waktu untuk
melakukan konsolidasi dan berupaya keras mengambil kebijakan untuk memakmurkan
rakyatnya.
Pada awalnya dalam melakukan proses pembangunan, keberadaan hukum tidak
terlalu diperhatikan. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari hukum sebagai
penghambat pembangunan itu sendiri hingga peran hukum yang berbeda di Negara
Berkembang dengan negara di Eropa atau negara yang memiliki tradisi Eropa
(selanjutnya disebut ”Negara Barat” atau ”Negara Maju”).
Namun kondisi ini lambat laun berubah. Pemerintahan dari
banyak Negara Barat demi kepentingan ekonomi dan pelaku usahanya di Negara
Berkembang, mendorong (bahkan menekan) agar pemerintahan Negara Berkembang
memperhatikan keberadaan dan fungsi hukum yang dikenal di negara mereka.
Disinilah
perlunya penelitian yang mengkaji tentang penegakan hukum. Kajian Law and
Development selama ini tidak menyentuh masalah penegakan hukum.[14]
Kebanyakan isu yang mendapat bahasan adalah hal-hal yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum. Pengalaman
Indonesia menunjukkan bila peraturan perundang-undangan telah direformasi dan
institutsi hukum telah dibentuk, hukum bisa tidak berfungsi bila penegakan
hukum sangat lemah.
Arti Penting Penegakan Hukum Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum
oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum
oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan
seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh
aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan
hukum ada dan akan tunduk.
Dalam konteks demikian masyarakat Indonesia masih dalam
taraf masyarakat yang ’takut’ pada (aparat penegak) hukum dan belum dapat
dikategorikan sebagai masyarakat yang ’taat’ pada hukum. Pada masyarakat yang
takut pada hukum, masyarakat tidak akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum
lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya. Oleh karenanya penegakan hukum
yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia sangat
diperlukan.
Realitas saat ini adalah penegakan hukum berfungsi dan
difungsikan sebagai instrumen untuk membuat masyarakat takut pada hukum yang
pada gilirannya diharapkan masyarakat menjadi tunduk pada hukum.
Hanya saja penegakan hukum sebagai instrumen telah dihinggapi
berbagai problem yang akut. Problem inilah yang menyebabkan penegakan hukum
menjadi lemah dan pada gilirannya hukum dipersepsikan sebagai telah mati.
Penyebab Lemahnya Penegakan Hukum; Di Indonesia, secara tradisional institusi hukum yang
melakukan penegakan hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan
Advokat. Problem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia perlu untuk
dipotret dan dipetakan. Tujuannya agar para pengambil kebijakan dapat
mengupayakan jalan keluar. Berikut adalah sejumlah problem penegakan hukum yang
dihadapi oleh Indonesia yang sebenarnya telah banyak disampaikan oleh para
ahli, pakar, birokrat di berbagai forum.
a.
Problem
pada Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
b.
Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan
c.
Uang yang mewarnai Penegakan Hukum
d.
Penegakan Hukum sebagai Komoditas Politik
e.
Penegakan Hukum yang Diskriminatif
f.
Lemahnya Kualitas dan Integritas Sumber Daya
Manusia
g.
Advokat Tahu Hukum versus Advokat Tahu Koneksi
Fundamen bagi Solusi Pembenahan; Setelah dipaparkan
berbagai problem penegakan hukum di Indonesia, tibalah saatnya untuk menawarkan
solusi. Secara faktual telah
banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan kalangan. Bahkan,
berbagai solusi tersebut telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah.
Hanya saja
solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif dan hanya memadai untuk
sesaat. Kelemahan lain adalah solusi yang diberikan tidak terlalu
memperhatikan konsekuensi ikutan. Ada pula solusi
yang diadopsi sekedar agar pemerintah mendapat dukungan publik, pada akhirnya
berbagai solusi yang dilontarkan dan telah diadopsi bukanlah solusi. Bisa jadi
dengan berjalannya waktu justru berbagai solusi tersebut menjadi problem
tersendiri.
Pada saat
ini diperlukan solusi yang lebih komprehensif yang memperhatikan berbagai
konsekuensi ikutan. Hanya saja pada kesempatan ini tidak akan disampaikan
solusi yang berbentuk program-program kongkrit yang dapat segera dijalankan.
Adapun yang hendak disampaikan adalah dasar atau fundamen bagi sejumlah solusi
yang lebih kongkrit.
a.
Menerima dan
Tidak Menyangkal
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil
kebijakan harus dalam posisi dapat menerima (accept) berbagai problem
penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal (denial)
berbagai problem yang ada. Penyangkalan sama saja menafikan adanya problem dan
dalam kondisi demikian apapun solusi menjadi tidak relevan.
Pada masa lampau pengambil kebijakan kerap menyangkal
bahwa Indonesia menghadapi berbagai problem penegakan hukum. Penyangkalan
tersebut berakibat pada terakumulasinya berbagai permasalahan. Seandainya
problem penegakan hukum terselesaikan pada saat awal kemunculannya mungkin
problem penegakan hukum tidak terlampau parah seperti sekarang. Saat ini
akumulasi masalah telah membuat problema yang dihadapi menjadi kompleks.
Masalah yang satu terkait dengan masalah yang lain. Akibatnya, apapun solusi
yang ditawarkan seolah tidak menjadi jawaban manjur karena permasalahan telah
menjadi lingkaran setan.
b.
Perlu
Kesabaran karena Tidak Ada Quick Solution
Dalam pembenahan problem penegakan hukum diperlukan
kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution
atau solusi instan. Sekali lagi problem penegakan hukum yang saat ini terjadi
di Indonesia merupakan problem yang kompleks. Solusi atas permasalahan ini
tidak mungkin dilakukan secara sederhana.
Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan
jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan
perundang-undangan dengan substansi ‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam
kenyataannya solusi demikian tidak memberikan hasil. Bahkan penyederhanaan dan
ketidak-sabaran menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan
menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum.
Solusi instan terkadang tidak menjadi jalan keluar, tetapi justru
memunculkan problem baru bagi penegakan hukum.
c. Pendekatan Multi Disiplin
Problem
penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima oleh
komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan
dengan pendekatan ilmu hukum. Bahkan
komunitas hukum harus mengakui solusi berdasarkan pendekatan ilmu hukum tidak
akan memadai.
Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam
konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai
disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam
mencari solusi atas problem penegakan hukum harus memiliki pengetahuan lain
selain hukum, khususnya ilmu sosial mengingat,
”... , while
Law and Development research can include textual, doctrinal, and historical
analyses of law, it must also adopt a broader perspective in which law and
legal process are seen in the context of the larger social, political and
economic system in which they operate.”[15]
Namun sayangnya para pakar, ahli dan mahasiswa
program doktor hukum merasa bahwa studi yang terkait dengan Law and
Development dapat mereka bahas tanpa memperhatikan kelemahan mereka dalam
ilmu sosial. Padahal “… legal scholars engaged in Law and Development
research should have some exposure to the theory and methods of the social
sciences …”[16]
Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini cukup
menggembirakan karena banyak pihak yang tidak berlatar belakang pendidikan
hukum telah turut berwacana atas berbagai problem penegakan hukum. Perkembangan
ini perlu ditindak-lanjuti dengan mendorong para ahli non-hukum untuk dapat
berinteraksi dan berdiskusi secara intens dengan para ahli hukum Law and
Development dalam memunculkan solusi kongkrit.
d.
Mengedepankan Kesejahteraan
Kesejahteraan
aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang khusus dari pengambil
kebijakan. Mengedepankan kesejahteraan aparat penegak hukum harus dilihat
sebagai fundamen dari solusi dan tidak sekedar program.
Mengedepankan kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan.
Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua,
untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas
dari berbagai universitas ternama dalam penegakan hukum di sektor publik. Kesejahteraan
disini harus diterjemahkan dalam konteks kemampuan secara finansial bagi aparat
penegak hukum untuk mendapatkan perumahan yang layak, transportasi, kesehatan
dan pendidikan bagi anak.
Sebagai gambaran, gaji pokok di lingkungan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk jabatan hakim berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
12 tahun 2003 sekitar Rp. 4,2 juta – 6,8 juta, sementara pengeluaran per bulan
yang wajar mencapai Rp. 14 juta.[17] Dari sini terlihat bahwa penghasilan hakim saat ini tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena itu, dalam suatu penelitian penghasilan hakim
diusulkan berkisar antara Rp. 10,8 juta – Rp. 20,5 juta.[18]
e.
Menjaga Konsistensi
Sebagaimana
telah diuraikan dalam problem penegakan hukum, penegakan hukum di Indonesia
sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan
dari para aparat penegak hukum. Belum lagi penegakan hukum dijadikan komoditas
politik. Sebagai akibat dari semua ini tidak terlalu aneh bila persepsi muncul
di masyarakat yang mengatakan penegakan hukum dilakukan secara tebang pilih. Untuk menghindar kesan
tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum perlu meletakkan fundamen yang
kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan dapat menjaga konsistensi,
paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana
kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten.
Menjadi
pertanyaan apa yang dijadikan acuan untuk menjaga konsistensi ini? Sebagai
acuan tentunya bukan kekuasaan, uang ataupun variabel-variabel lain. Sebagai
acuan adalah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan. Memang harus diakui
terkadang peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dijadikan acuan
yang kuat karena adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lain, bahkan ketentuan yang diatur sangat
kabur sehingga perlu dilakukan tafsir. Kelemahan ini tentu harus diatasi namun
aparat penegak hukum perlu untuk didorong agar konsisten dengan hukum dalam menjalankan
tugasnya.
f.
Pembersihan Internal
Pada
saat ini sedang dilakukan upaya untuk membersihkan institusi hukum dari
personil nakal dan bermasalah. Banyak pihak mengandaikan, bila hendak
bersih-bersih ruangan maka sapu harus bersih terlebih dahulu. Oleh karenanya
upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu
terus mendapat dukungan.
Dalam
konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat
penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia.
Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum. Oleh karena itu, perlu
diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan
penyelewenangan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah mekanisme yang
memang dapat bekerja (workable) sehingga betul-betul dapat menjerat
personil yang bersalah dan dapat dipercaya (reliable) oleh masyarakat.
Pembersihan
internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah
memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. Ini untuk memilah mereka yang
menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan
mereka yang bermotivasikan ’tamak’ mengkomersialkan jabatannya. Sebelum negara
dapat memberikan kesejahteraan yang memadai akan sulit bila dilakukan pembersihan
internal secara ekstensif dan tegas.
g.
Pendekatan
Manusiawi dan Mengantisipasi Perlawanan
Pembenahan atas penegakan hukum, terutama pada institusi
hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terkait dengan manusia. Manusia
yang menjadi obyek pembenahan pun tidak terbatas pada individu yang ada dalam
institusi hukum, tetapi juga manusia yang berada di sekeliling individu
tersebut, termasuk keluarga.Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan
secara manusiawi. Pembenahan sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri,
bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan.
Disamping itu, kompleksitas membenahi manusia juga harus
dipahami. Bila dibandingkan
dengan reformasi peraturan perundang-undangan, reformasi sumber daya manusia
sangat rumit. Pembenahan manusia menyangkut sikap tindak (mindset).
Sikap tindak yang telah lama berakar akan sulit untuk diubah dalam sekejap.
Bagi mereka yang tidak sabar solusi termudah adalah mengganti seluruh manusia
yang ada di suatu institusi hukum. Namun ini tidak akan menyelesaikan masalah
secara tuntas.
Bila pembenahan manusia hukum tidak dilakukan secara
manusiawi dapat dipastikan akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan
proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari
solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa
dendam atau perlawanan. Namun demikian bila pembenahan terhadap manusia dan
institusi hukum sudah memasuki proses hukum maka penegakan hukum harus
dilakukan secara tegas.
h.
Partisipasi
Publik
Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk
disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik tidak
sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada
dalam masyarakat.
Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan
hukum di Indonesia. Setiap individu Indonesia akan memiliki peran dan
kontribusi besar. Banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari hal kecil, seperti
setiap individu tunduk pada hukum bukan karena takut tetapi karena taat. Orang
tua yang mengarahkan kepada anak agar mematuhi aturan sejak usia belia. Bahkan,
individu yang terkena proses hukum dapat menahan diri untuk tidak melakukan
tindakan-tindakan yang dapat melemahkan penegakan hukum.
Hanya saja dalam menggerakkan partisipasi publik sedapat
mungkin tidak dilakukan melalui gerakan-gerakan formal. Gerakan harus dilakukan
secara bottom up dan bukan top down. Bahkan bila perlu
partisipasi publik dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.
Penutup
Politik
dan penegakan hukum merupakan dua hal penting dalam meletakkan arah kebijakan
pembangunan hukum di bidang hukum
pidana terhadap pemidanaan.
Politik
hukum yang tidak jelas dan tegas telah berakibat fatal. Berbagai peraturan
perundang-undangan seolah tidak memiliki roh. Sementara penegakan hukum yang
lemah telah berakibat pada ketidak-pastian dan
keadilan yg substansial tidak terpenuhi.
kebijakan
hukum pidana dalam penerapan sanksi pidana atau pemidanaan suatu tindak pidana
ringan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, yang sudah seharusnya dilakukan
penanganan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan proses hukum yang ada dan
sesuai dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Serta Putusan hakim yang ideal, mengandung unsur-unsur keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) secara proporsional.
Yang Berdasarkan pada ide dasar atau prinsip ide pemidanaan.
[2] M. Sholehuddin,
Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System &
Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 6.
[3] Tulisan Prof. Hikmahanto;
pendefinisian hukum seperti ini untuk membedakan bentuk
lain dari hukum yang tidak dibuat secara sengaja dan tidak tertulis, yaitu
hukum adat, dan juga pembentukan hukum yang dibuat oleh institusi non-negara
seperti perjanjian antar subyek hukum perdata.
[4] Prof. Hikmahanto. Materi
kuliah.Hal positif dari penggunaan UU oleh pemerintah
adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga negara, memperbaiki
perekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negatif terjadi pada
Negara Berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau diktatorial. UU
dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan
istilah Rule by Law dalam pengertian negatif dan bukan Rule of Law.
[5] Ni’matul Huda, Politik Hukum, Catatan Perkuliahan, Kamis 19 Maret 2015
[6] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, op,cit hlm. 12 dan 13
[7] Mokhammad Najih, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang-Jawa Timur, Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional:
Politik Hukum Pidana Indonesia, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berbasis
Pada Pancasila, Lihat Komisi Hukum Nasional RI hlm. 189
[8] Mokhammad Najih, S.H., M.H. Ibid.,
hlm. 190
[9] M. Sholehuddin, Ibid., hlm. 80
[10] Ibid., hlm. 84
[11] Ibid.,
[12] Kaelan, filsafat Pancasila Pandangan hidup Bangsa
Indonesia, cetakan Pertama, Yogakarta: Paradigma, 2002), hlm. 46
[13] op,cit., hlm. 84-85
[14] Kerap kajian Law and Development mendapat kritik karena tidak
memperhatikan faktor lain bagi beroperasiya hukum di suatu negara. Sebagai
contoh Lindsey mengkritik sebagai berikut, “Ironically, although its proponents
paid scant attention to legal culture, a consequence of the fall from grace of ‘Law and Development’
has been tainting of ‘legal culture’ as legitimate field of enquiry, both for
scholars and law reformers.” Lihat: Tim Lindsey, “History Always Repeats?
Corruption, Culture, and ‘Asian Values’” dalam: Tim Lindsey dan Howard Dick, Corruption
in Asia Rethinking the Governance Paradigm, (Sydney: Federation Press, 2002), 6.
[15] Ibid., 22.
[16] Ibid.
[17] Jumlah yang disebutkan dapat membengkak
bila melihat kenyataan di Indonesia keluarga besar aparat atau pejabat penegak hukum akan membebani
mulai dari meminta dan meminjam uang hingga menitipkan kerabatnya untuk
dipekerjakan.
[18] Laporan penelitian. Ibid., 43 dan
Lampiran V dan VI butir 4. Penilaian dilakukan berdasarkan survei biaya hidup
tahun 1996.