Minggu, 29 November 2015

Pembangunan Hukum

Politik Hukum Pidana  Dan Penegakan Hukum: Studi Pembangunan Hukum Dalam Penerapan Pemidanaan

Oleh: Abdul mutalib
Penegakan Hukum Dan Pemidanaan
Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berdasarkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara yang masyarakatnya sadar hukum akan menjadikan hukum sebagai tameng yang mampu melayani dan memberikan keadilan. Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji, khususnya terhadap kasus tindak pidana ringan yang pelakunya seorang yang tua rentan dan tidak dapat menjalani hukuman penjara.
Hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Hukum Pidana merupakan bidang hukum yang mendapatkan sorotan paling keras bahkan celaan diantara bidang-bidang hukum lainnya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pemberitaan mengenai tindak pidana yang terjadi di Indonesia melalui televisi, surat kabar dan media elektronik lainnya. Banyak kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang dilakukan oleh maling sendal hingga ‘maling uang rakyat’.
Ada beberapa kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia belakangan ini, yang menurut penulis kerugiannya sangat kecil dan seharusnya diselesaikan dengan standar pemeriksaan biasa, sangat bertentangan dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Yang levelnya masih kalah jauh,jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sangat besar kerugianya. Antara lain seperti berikut:
1.        Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, didakwa mencuri tiga buah kakao atau cokelat di perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan pada 2009 lalu. Dia mengaku, berencana menjadikan buah-buah kakao itu sebagai benih. Tanpa didampingi penasihat hukum, Minah harus menjawab semua pertanyaan majelis hakim. Akhirnya majelis hakim menjatuhkan hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.
2.        Rasminah, nenek berusia 60 tahun harus mendekam di LP Tangerang, Banten. Dia dituduh majikannya, Siti Aisyah Margaret, mencuri 6 piring pada Juni 2010. Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Desember 2010. Memutuskan untuk membebaskan dirinya. Namun pada 30 Januari 2012, Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah. MA mengganjarnya dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Meski begitu, majelis hakim Artidjo Alkostar menyatakan, Nenek Rasminah tidak bersalah.
3.        Pasangan kakek Anjo Lasim (70) dan nenek Jamilu Nani (75), warga Desa Tenggela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo harus menghadapi meja hijau pada 2010 lalu. Keduanya dituntut 3 bulan penjara lantaran dituduh mencuri 6 batang bambu di lahan milik tetangga mereka. Majelis hakim Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo akhirnya membebaskan keduanya setelah dinilai tak bersalah.
4.        Nenek Artija (70) menjadi terdakwa setelah dilaporkan oleh anak kandungnya sendiri ke polisi. Dia dilaporkan anaknya, Manisah atas tuduhan mencuri 4 batang pohon. Padahal, pohon itu ditanam oleh sang nenek di pekarangan rumahnya. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Jember akhirnya menghentikan persidangan kasus itu lantaran sudah ada kesepakatan damai antara Manisa dengan Artija.
5.        Nenek Asyani alias Buk Muaris didakwa mencuri 7 batang pohon jati dari lahannya sendiri. Pihak Perhutani yang memperkarakan nenek Asyani dan 3 orang lainnya menilai kasus pencurian ini termasuk tindak pidana umum dan memang harus dipidanakan. Karena jika tidak, Perhutani-lah yang harus dipidanakan atau didenda sesuai UU No 18 Tahun 2013. Namun sang nenek bersikukuh tidak melakukan pencurian 7 batang kayu jati seperti yang dituduhkan polisi. Bersama 3 terdakwa lainnya, wanita berusia 63 tahun itu pun ditangguhkan penahanannya. Meski demikian kasus hukum nenek Asyani tetap berlanjut. Kamis 19 Maret 2015, dia kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Situbondo.
6.        Harso Taruno, kakek 67 tahun di Yogyakarta juga mengalami masalah seperti nenek Asyani. Dia dilaporkan ke polisi karena dituduh menebang pohon di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul, DIY. Karena tuduhan itu, Harso dinilai merusak hutan dan melawan hukum. Dia pun dituntut 2 bulan penjara dan denda Rp 400 ribu subsider 1 bulan penjara. Dan sempat mengecap sel bui selama 1 bulan. Namun, Selasa 17 Maret 2015, majelis hakim PN Wonosari yang diketuai Yamti Agustina menyatakan Harso tak bersalah.[1]
Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban (victim) dan pelaku (offender), demi hanya mencapai keadilan prosedural tanpa melihat keadilan substansi juga. Maraknya tindak pidana ringan (tipiring) di masyarakat yang berujung pada meja hijau, disisih lain semakin menambah jumlah tahanan di Rumah Tahanan (rutan) dan Lembaga Pemasyarakatann (lapas). Sebagai salah satu masalah sentral dalam poitik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan ‘the crisis of overcriminalization’  (krisis kelebihan kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law’ (krisis pelampauan dari hukum pidana).[2] Pada akhirnya jika hal tersebut terjadi maka Rutan maupun Lapas sebagai pintu terakhir dalam sistem peradilan pidana akan mengalami lonjakan penghuni yang berakibat pada terjadinya kelebihan kapasitas (over capacity) Dan tidak tercapainya tujuan dari pemidanaan itu sendiri.
Dalam sebuah negara yang sedang mengalami masa transisi dari negara yang berbasis pada masyarakat agraris (tradisional) ke negara yang berbasis pada masyarakat industri (modern), peran hukum di bidang pidana sangat penting dan  Indonesia bukan merupakan pengecualian. berbagai upaya telah dilakukan di Indonesia agar perangkat hukum dapat mendukung Indonesia sebagai sebuah negara modern yang sesuai dengan yang di cita-citakan.
Tulisan ini hendak menelaah lebih jauh apa yang menjadi arah kebijakan pembangunan hukum dalam penerapan pemidanaan. Tulisan ini tidak hanya membahas peraturan perundang-undangan semata tetapi jauh lebih penting bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut berjalan di masyarakat. Satu hal yang pasti, peraturan perundang-undangan tidak berjalan sebagaimana yang diharapka. Tulisan ini akan membahas, apa yang menjadi politik hukum sebagai arah kebijakan pembangunan hukum dalam penerapan  di Indonesia. 

Politik Hukum Pembangunan Hukum Dalam Penerapan Pemidanaan Di Indonesia
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara.[3] Dalam konteks demikian peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu.
Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy).
Politik hukum dapat dibedakaan dalam dua dimensi. Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian  disebut sebagai “Kebijakan Dasar” atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai basic policy. Dibidang hukum pidana yang terkait dengan pemidanaan, UUD ataupun Kebijakan Dasar dari UU kita, membrikan hak dan jaminan perlindungan kepada setiap warga Negara demi tercapai keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Misalnya, dalam KUHAP pasal 193 ayat (1) mengatakan pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan dan rumusan pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jika dikaitkan dengan contoh kasus diatas, unsur-unsur dalam tindak pidana memang terpenuhi. Akan tetapi jika ditelah lebih dalam kasus tersebut sangat jauh dari asas trilogy peradilan yang cepat, sedarhana dan berbiaya ringan.
Artinya, dalam penegakan hukum berdasarkan keadilan, penegak hukum (Hakim, jaksa, Polisi) dalam menjalankan tugas, missal Hakim dalam putusan-putusannya tidak menerima undang-undang atau aturan-aturan begitu saja tanpa mengamati kenyataan tentang bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum (UU) dijalankan. Contoh lain, dibidang hukum yang berkaitan dengan perekonomian, kebijakan dasar dari UU Hak Cipt adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya. Kebijakan Dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi ini disebut  sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai enactment policy. Keberadaan Kebijakan Pemberlakuan sangat dominan di Negara Berkembang mengingat peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif.[4]
Selanjutnya, secara singkat menurut Dr Ni’matul Huda, politik hukum adalah kebijakan Negara yang dituangkan dalam undang – undang yang dipakai secara nasional dan berbicara desain hukum kedepan.[5]
Jika dalam mempositifkan nilai – nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya bepijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten menolak pandangan Hans kelsen yang melihat putusan–putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan–bahan positif, yakni undang–undang dan vonis–vonis. Menurut scholten, bahan–bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. [6]
Kemudian Prof Sudarto mengemukakan bahwa poltik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dan system peradilan pidana memilih hukum dan undang – undang yang bersesuaian, paling baik dan memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa politik hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan menjangkau masa depan.[7]
Maka untuk mewujudkan hukum pidana yang baik, berkemajuan dan realistik maka diperlukan kerjasama yang terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (practitioners), antara pakar kejahatan (criminologist) dengan advocad (lawyers), sehingga dapat disatukannya gagasan–gagasan pencegahan kejahatan dengan idea–idea teknik perundang–undangan dalam proses perancangan hukum pidana.[8] Untuk itu Dalam suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk membentuk UU merupakan pihak akhir yang menentukan apa yang menjadi Kebijakan Pemberlakuan suatu UU.
Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide–ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakekat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas public kepada Negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan.[9]
Ada beberapa perspektif filsafat tentang pemidanaan. Yakni perspektif eksistensialisme, sosialisme, dan perspektif pancsila; eksistensialisme memusatkan pada eksistensi individu sebagai manusia yang bebas. Karnanya, eksistensialisme menempatkan persoalan hak, kewajiban, hukum dan pemidanaan dalam sumbernya yang paling fundamental yakni hakekatnya manusia sebagai individu yang bebas.[10]
Bagi Jean Paul Sartre (1905-1980), kebebasan adalah mutlak. Konsekuensinya, pidan dipandang sebagai hal yang tidak berguna, karena pidana merupakan pembatasan terhadap kebebasan mutlak. Sebaliknya, Albert Camus (1913-1960) berpendapat bahwa kebebasan mutlak itu tidak ada. Kebebasan dalam pelaksanaannya harus dikaitkan dan memperhatikan kebebasan individu lain. Atas dasar pemikiran demikian, Camus berpendirian bahwa hukum dan pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada Negara untuk memidana.[11]
Berbeda dengan pandangan ini, Perspektif sosialisme lebih menekankan aspek Negara ketimbang individu warganya atau lebih mementingkan kepentingan Negara bukan individu. Namun di Indonesia menganut paham yang berbeda dengan kedua paham tersebut. Falsafah Negara Indonesia adalah pancasila; pandangan hidup bangsa Indoneasi, dasar filsafat bangsa Indonesia, dasar tatanan hukum dan sebagai ideologi bangsa Indonesia[12]  yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan kepentingan Negara.[13]
 Penegakan Hukum dalam Pembangunan Hukum Terhadap Pemidanaan
Dalam pembangunan hukum terhadap pemidanaan, penegakan hukum memiliki perang yang sangat penting. Sayangnya di Indonesia penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kaitan ini perlu dibahas secara mendasar apa yang menjadi penyebab lemahnya penegakan hukum. Hanya saja masalah penegakan hukum tidak dapat dilihat dalam perspektif hukum semata. Perspektif harus dilakukan secara luas mengingat penegakan hukum bukan sekedar masalah hukum.
Artinya dalam penegakan hukum berdasarkan keadilan, hakim dalam putusan-putusanya yang kaitanya dengan kasus-kasus yang sekarang ini, tidak menerima undang-undang atau aturan hukum begitu saja tanpa mengamati kenyataan tentang bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum (UU) itu dijalankan, sama artinya dengan membuat mitos tentang hukum.
Dalam studi hukum ada sebuah kajian yang disebut sebagai Law and Development yang merupakan kajian yang khas bagi permasalahan hukum di negara-negara yang baru merdeka. Kemunculan kajian Law and Development terkait fenomena transplantasi hukum di banyak negara yang baru merdeka dalam melakukan pembangunan (selanjutnya disebut “Negara Berkembang”). Di tahun 1960an, banyak Negara Berkembang tidak menyia-nyiakan waktu untuk melakukan konsolidasi dan berupaya keras mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyatnya.
Pada awalnya dalam melakukan proses pembangunan, keberadaan hukum tidak terlalu diperhatikan. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari hukum sebagai penghambat pembangunan itu sendiri hingga peran hukum yang berbeda di Negara Berkembang dengan negara di Eropa atau negara yang memiliki tradisi Eropa (selanjutnya disebut ”Negara Barat” atau ”Negara Maju”).
Namun kondisi ini lambat laun berubah. Pemerintahan dari banyak Negara Barat demi kepentingan ekonomi dan pelaku usahanya di Negara Berkembang, mendorong (bahkan menekan) agar pemerintahan Negara Berkembang memperhatikan keberadaan dan fungsi hukum yang dikenal di negara mereka.
Disinilah perlunya penelitian yang mengkaji tentang penegakan hukum. Kajian Law and Development selama ini tidak menyentuh masalah penegakan hukum.[14] Kebanyakan isu yang mendapat bahasan adalah hal-hal yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum. Pengalaman Indonesia menunjukkan bila peraturan perundang-undangan telah direformasi dan institutsi hukum telah dibentuk, hukum bisa tidak berfungsi bila penegakan hukum sangat lemah.
Arti Penting Penegakan Hukum Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Dalam konteks demikian masyarakat Indonesia masih dalam taraf masyarakat yang ’takut’ pada (aparat penegak) hukum dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang ’taat’ pada hukum. Pada masyarakat yang takut pada hukum, masyarakat tidak akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya. Oleh karenanya penegakan hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia sangat diperlukan.
Realitas saat ini adalah penegakan hukum berfungsi dan difungsikan sebagai instrumen untuk membuat masyarakat takut pada hukum yang pada gilirannya diharapkan masyarakat menjadi tunduk pada hukum.
Hanya saja penegakan hukum sebagai instrumen telah dihinggapi berbagai problem yang akut. Problem inilah yang menyebabkan penegakan hukum menjadi lemah dan pada gilirannya hukum dipersepsikan  sebagai telah mati.
Penyebab Lemahnya Penegakan Hukum; Di Indonesia, secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Advokat. Problem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia perlu untuk dipotret dan dipetakan. Tujuannya agar para pengambil kebijakan dapat mengupayakan jalan keluar. Berikut adalah sejumlah problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia yang sebenarnya telah banyak disampaikan oleh para ahli, pakar, birokrat di berbagai forum.
a.         Problem  pada Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
b.        Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan
c.         Uang yang mewarnai Penegakan Hukum
d.        Penegakan Hukum sebagai Komoditas Politik
e.         Penegakan Hukum yang Diskriminatif
f.         Lemahnya Kualitas dan Integritas Sumber Daya Manusia
g.        Advokat Tahu Hukum versus Advokat Tahu Koneksi

Fundamen bagi Solusi Pembenahan; Setelah dipaparkan berbagai problem penegakan hukum di Indonesia, tibalah saatnya untuk menawarkan solusi.  Secara faktual telah banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan kalangan. Bahkan, berbagai solusi tersebut telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah.
Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif dan hanya memadai untuk sesaat. Kelemahan lain adalah solusi yang diberikan tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan. Ada pula solusi yang diadopsi sekedar agar pemerintah mendapat dukungan publik, pada akhirnya berbagai solusi yang dilontarkan dan telah diadopsi bukanlah solusi. Bisa jadi dengan berjalannya waktu justru berbagai solusi tersebut menjadi problem tersendiri.
Pada saat ini diperlukan solusi yang lebih komprehensif yang memperhatikan berbagai konsekuensi ikutan. Hanya saja pada kesempatan ini tidak akan disampaikan solusi yang berbentuk program-program kongkrit yang dapat segera dijalankan. Adapun yang hendak disampaikan adalah dasar atau fundamen bagi sejumlah solusi yang lebih kongkrit.

a.        Menerima dan Tidak Menyangkal
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima (accept) berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal (denial) berbagai problem yang ada. Penyangkalan sama saja menafikan adanya problem dan dalam kondisi demikian apapun solusi menjadi tidak relevan.
Pada masa lampau pengambil kebijakan kerap menyangkal bahwa Indonesia menghadapi berbagai problem penegakan hukum. Penyangkalan tersebut berakibat pada terakumulasinya berbagai permasalahan. Seandainya problem penegakan hukum terselesaikan pada saat awal kemunculannya mungkin problem penegakan hukum tidak terlampau parah seperti sekarang. Saat ini akumulasi masalah telah membuat problema yang dihadapi menjadi kompleks. Masalah yang satu terkait dengan masalah yang lain. Akibatnya, apapun solusi yang ditawarkan seolah tidak menjadi jawaban manjur karena permasalahan telah menjadi lingkaran setan.
           
b.        Perlu Kesabaran karena Tidak Ada Quick Solution
Dalam pembenahan problem penegakan hukum diperlukan kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sekali lagi problem penegakan hukum yang saat ini terjadi di Indonesia merupakan problem yang kompleks. Solusi atas permasalahan ini tidak mungkin dilakukan secara sederhana.

Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi ‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya solusi demikian tidak memberikan hasil. Bahkan penyederhanaan dan ketidak-sabaran menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum.
Solusi instan terkadang tidak menjadi jalan keluar, tetapi justru memunculkan problem baru bagi penegakan hukum.
c.        Pendekatan Multi Disiplin
Problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum. Bahkan komunitas hukum harus mengakui solusi berdasarkan pendekatan ilmu hukum tidak akan memadai.
Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi atas problem penegakan hukum harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial mengingat,
... , while Law and Development research can include textual, doctrinal, and historical analyses of law, it must also adopt a broader perspective in which law and legal process are seen in the context of the larger social, political and economic system in which they operate.[15]
Namun sayangnya para pakar, ahli dan mahasiswa program doktor hukum merasa bahwa studi yang terkait dengan Law and Development dapat mereka bahas tanpa memperhatikan kelemahan mereka dalam ilmu sosial. Padahal “… legal scholars engaged in Law and Development research should have some exposure to the theory and methods of the social sciences …[16]
Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini cukup menggembirakan karena banyak pihak yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum telah turut berwacana atas berbagai problem penegakan hukum. Perkembangan ini perlu ditindak-lanjuti dengan mendorong para ahli non-hukum untuk dapat berinteraksi dan berdiskusi secara intens dengan para ahli hukum Law and Development dalam memunculkan solusi kongkrit.
d.        Mengedepankan Kesejahteraan
Kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang khusus dari pengambil kebijakan. Mengedepankan kesejahteraan aparat penegak hukum harus dilihat sebagai fundamen dari solusi dan tidak sekedar program.
Mengedepankan kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan. Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas ternama dalam penegakan hukum di sektor publik. Kesejahteraan disini harus diterjemahkan dalam konteks kemampuan secara finansial bagi aparat penegak hukum untuk mendapatkan perumahan yang layak, transportasi, kesehatan dan pendidikan bagi anak.
Sebagai gambaran, gaji pokok di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk jabatan hakim berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2003 sekitar Rp. 4,2 juta – 6,8 juta, sementara pengeluaran per bulan yang wajar mencapai Rp. 14 juta.[17] Dari sini terlihat bahwa penghasilan hakim saat ini tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena  itu, dalam suatu penelitian penghasilan hakim diusulkan berkisar antara Rp. 10,8 juta – Rp. 20,5 juta.[18]
e.         Menjaga Konsistensi
Sebagaimana telah diuraikan dalam problem penegakan hukum, penegakan hukum di Indonesia sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum. Belum lagi penegakan hukum dijadikan komoditas politik. Sebagai akibat dari semua ini tidak terlalu aneh bila persepsi muncul di masyarakat yang mengatakan penegakan hukum dilakukan secara tebang pilih. Untuk menghindar kesan tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten.
Menjadi pertanyaan apa yang dijadikan acuan untuk menjaga konsistensi ini? Sebagai acuan tentunya bukan kekuasaan, uang ataupun variabel-variabel lain. Sebagai acuan adalah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan. Memang harus diakui terkadang peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dijadikan acuan yang kuat karena adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, bahkan ketentuan yang diatur sangat kabur sehingga perlu dilakukan tafsir. Kelemahan ini tentu harus diatasi namun aparat penegak hukum perlu untuk didorong agar konsisten dengan hukum dalam menjalankan tugasnya.
f.          Pembersihan Internal
Pada saat ini sedang dilakukan upaya untuk membersihkan institusi hukum dari personil nakal dan bermasalah. Banyak pihak mengandaikan, bila hendak bersih-bersih ruangan maka sapu harus bersih terlebih dahulu. Oleh karenanya upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu terus mendapat dukungan.
Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia. Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewenangan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah mekanisme yang memang dapat bekerja (workable) sehingga betul-betul dapat menjerat personil yang bersalah dan dapat dipercaya (reliable) oleh masyarakat.
Pembersihan internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. Ini untuk memilah mereka yang menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan mereka yang bermotivasikan ’tamak’ mengkomersialkan jabatannya. Sebelum negara dapat memberikan kesejahteraan yang memadai akan sulit bila dilakukan pembersihan internal secara ekstensif dan tegas.
g.        Pendekatan Manusiawi dan Mengantisipasi Perlawanan
Pembenahan atas penegakan hukum, terutama pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terkait dengan manusia. Manusia yang menjadi obyek pembenahan pun tidak terbatas pada individu yang ada dalam institusi hukum, tetapi juga manusia yang berada di sekeliling individu tersebut, termasuk keluarga.Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi. Pembenahan sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan.
Disamping itu, kompleksitas membenahi manusia juga harus dipahami. Bila dibandingkan dengan reformasi peraturan perundang-undangan, reformasi sumber daya manusia sangat rumit. Pembenahan manusia menyangkut sikap tindak (mindset). Sikap tindak yang telah lama berakar akan sulit untuk diubah dalam sekejap. Bagi mereka yang tidak sabar solusi termudah adalah mengganti seluruh manusia yang ada di suatu institusi hukum. Namun ini tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas.
Bila pembenahan manusia hukum tidak dilakukan secara manusiawi dapat dipastikan akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa dendam atau perlawanan. Namun demikian bila pembenahan terhadap manusia dan institusi hukum sudah memasuki proses hukum maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas.
h.        Partisipasi Publik
Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada dalam masyarakat.
Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia. Setiap individu Indonesia akan memiliki peran dan kontribusi besar. Banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari hal kecil, seperti setiap individu tunduk pada hukum bukan karena takut tetapi karena taat. Orang tua yang mengarahkan kepada anak agar mematuhi aturan sejak usia belia. Bahkan, individu yang terkena proses hukum dapat menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melemahkan penegakan hukum.
Hanya saja dalam menggerakkan partisipasi publik sedapat mungkin tidak dilakukan melalui gerakan-gerakan formal. Gerakan harus dilakukan secara bottom up dan bukan top down. Bahkan bila perlu partisipasi publik dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.

Penutup
Politik dan penegakan hukum merupakan dua hal penting dalam meletakkan arah kebijakan pembangunan hukum di bidang hukum pidana terhadap pemidanaan.
Politik hukum yang tidak jelas dan tegas telah berakibat fatal. Berbagai peraturan perundang-undangan seolah tidak memiliki roh. Sementara penegakan hukum yang lemah telah berakibat pada ketidak-pastian dan keadilan yg substansial tidak terpenuhi.
kebijakan hukum pidana dalam penerapan sanksi pidana atau pemidanaan suatu tindak pidana ringan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, yang sudah seharusnya dilakukan penanganan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan proses hukum yang ada dan sesuai dengan asas trilogi peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Serta Putusan hakim yang ideal, mengandung unsur-unsur keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) secara proporsional. Yang Berdasarkan pada ide dasar atau prinsip ide pemidanaan.


[2] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 6.
[3] Tulisan Prof. Hikmahanto; pendefinisian hukum seperti ini untuk membedakan bentuk lain dari hukum yang tidak dibuat secara sengaja dan tidak tertulis, yaitu hukum adat, dan juga pembentukan hukum yang dibuat oleh institusi non-negara seperti perjanjian antar subyek hukum perdata.
[4] Prof. Hikmahanto. Materi kuliah.Hal positif dari penggunaan UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga negara, memperbaiki perekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negatif terjadi pada Negara Berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau diktatorial. UU dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negatif dan bukan Rule of Law.
[5] Ni’matul Huda, Politik Hukum, Catatan Perkuliahan, Kamis 19 Maret 2015
[6] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, op,cit hlm. 12 dan 13
[7] Mokhammad Najih, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang-Jawa Timur, Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional: Politik Hukum Pidana Indonesia, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berbasis Pada Pancasila, Lihat Komisi Hukum Nasional RI hlm. 189
[8] Mokhammad Najih, S.H., M.H. Ibid., hlm. 190
[9] M. Sholehuddin, Ibid., hlm. 80
[10] Ibid., hlm. 84
[11] Ibid.,
[12] Kaelan, filsafat Pancasila Pandangan hidup Bangsa Indonesia, cetakan Pertama, Yogakarta: Paradigma, 2002), hlm. 46
[13] op,cit., hlm. 84-85
[14] Kerap kajian Law and Development mendapat kritik karena tidak memperhatikan faktor lain bagi beroperasiya hukum di suatu negara. Sebagai contoh Lindsey mengkritik sebagai berikut, “Ironically, although its proponents paid scant attention to legal culture, a consequence of  the fall from grace of ‘Law and Development’ has been tainting of ‘legal culture’ as legitimate field of enquiry, both for scholars and law reformers.” Lihat: Tim Lindsey, “History Always Repeats? Corruption, Culture, and ‘Asian Values’” dalam: Tim Lindsey dan Howard Dick, Corruption in Asia Rethinking the Governance Paradigm, (Sydney: Federation Press, 2002), 6.
[15] Ibid., 22.
[16] Ibid.
[17] Jumlah yang disebutkan dapat membengkak bila melihat kenyataan di Indonesia keluarga besar aparat atau pejabat penegak hukum akan membebani mulai dari meminta dan meminjam uang hingga menitipkan kerabatnya untuk dipekerjakan.
[18] Laporan penelitian. Ibid., 43 dan Lampiran V dan VI butir 4. Penilaian dilakukan berdasarkan survei biaya hidup tahun 1996.