HAK ULAYAT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
0leh: Zoul_zull
Pakar hukum adat yang juga biasa disebut “vader van
het Indonesia Adatrecht” atau “Bapak Hukum Adat Indonesia” Prof. Mr.C. Van
Vollenhoven (1874-1933) sekitar delapan puluh tahun yang lampau mengungkapkan
dalam bukunya “De Indonesia en zijn Grond” (Orang Indonesia dan Tanahnya)
(1932) persoalan dasar tentang Hak Ulayat yang disebutnya dengan istilah
“beschikkingsrecht” sebagai berikut:
“Dit “beschikkingsrecht” – het word in technischen zin
gonomen, als eigen “rechts benaming” – waar voor, ook in zijn invloed op bouwvelden, het material volop is
aangedagen is weer in eer niets in ons burgerlijk wetboek noch met ons recht
van heerschappij vergerlijkbaar, maar is voor der ganschen archipel het
hooqssterecht ten aanzien van groud. Hetkomtre aan een stam, een dorpenbond of
– meestal – een dorp (nooit aan een individu)” (Vollenhoven, 1932:9)”
Secara umum pernyataan tersebut menggambarkan bahwa “Hak
Ulayat” atau “beschikkingsrecht” (Hak
Penguasaan) sebagai istilah teknis yang dipergunakan sebagai istilah hukum
untuk menyebut tanah-tanah pertanian tetapi istilah ini tidak ditemukan dalam
Kitap Undang-undang Hukum Perdata (BW), juga tidak dapat disamakan dengan “recht van heerschappi” (Hak Pertuanan)
di Negara Barat. Namun diseluruh kepulauan Indonesia hak itu merupankan hak
yang tertinggi atas tanah. Hak itu dipunyai oleh suatu suku (stam) atau oleh
sebuah dorpenboud (gabungan desa)
namun biasanya hanya oleh sebuah desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh
orang perorangan.
Di kalangan para ilmuwan istilah hak ulayat atau beschikkingsrecht diterjemahkan dengan
beberapa istilah yang berbeda-beda. Prof. Notonegoro menggunakan istilah “ Hak
menguasai”, Prof. Soepomo menggunakan istilah “Hak pertuanan” dan Prof. Djojodigoeno menggunakan istilah “Hak puba” tetapi dalam peraturan perundangan
umumna digunakan istilah “Hak Ulayat”.
Pakar Hukum
Adat Prof. Soekanto (1905-1961) dengan mengutip tulisan Ter Haar “beginselen en stelsel Van het Adatrecht”
mengemukakan bahwa terminology “beschikkingsrecht”
itu tidak ada dalam bahasa-bahasa di Indonesia, akan tetapi sebutan wilayah
yang dikuasai (“beschikkingsrecht”)
ada,meski pun tidak begitu tepat, misalnya petuanan
(Ambon), Panyampeto (Kalimantan), Pawasatan (Kalimantan) Wewengkon (Jawa), Prabumian
(Bali), Ulayat (Minangkabau).
Kemudian dia mengutip pendapat Van Hinloopen Labberten dalam bukunya (“Distionaire de termes de droit coutumier
Indonesia” hal. 506) hak ulayat adalah “beschikkingsrecht
op
den ground en het water (“hak penguasaan terhadap tanah dan air”) (Soekanto,
1981:92).
Sedangkan Husen Alting, dalam H. Abdulrachman, mengemukakan bahwa hukum adat tidak memberikan
nama terhadap istilah ulayat, namun
hanya menunjukan tanah wilayah sebagai kepunyaan. Pada beberapa daerah digunakan istilah pertuanan - Ambon (tanah wilayah sebagai kepunyaan) panyampeto Kalimantan (tempat yang
memberi makan). Pewatasan – Kalimantan,
Wewengkon – Jawa, Prabumian – Bali, (sebagai daerah yang
dibatasi), atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain, misalnya tatabuan-Bolaang di mangondow, selain itu
juga dikenal pada beberapa daerah hak tanah yang hamper sama seperti Torlok-Angkola, Limpo-Sulawesi Selatan, Muru-Buru,
Payar-Bali, Paer-Lombong dan Ulayat-Minangkabau.
Sedangkan di Maluku Utara dikenal dengan abacocato-Ternate/Jailolo
(tanah sultan, tanah suku, tanah bagi orang-orang tertentu) penggunaan istilah
yang berbeda-beda tersebut tidak bias lepas dari hukum adat yang berlaku
didaerah masing-masing di Indonesia, karna pada dasarnya hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi atas tanah
dalam hukum adat (Alting, 2010:50).
Istilah hak ulayat
sebagai ha katas tanah pada mulanya digunakan dan popular di minangkabau
(Sumatra Barat), tetapi kemudian digunakan pula diberbagai daerah di Indonesia
terutama setelah berlakuna Undang-undang no. 5 tahun1960 tentang ketentuan
Pokok Agraria yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960.
Dalam laporan penelitian “Indonesia Land Administration Project Costomary (Adat) Land Righ Studies tentang Pola
Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan problema Pendaftaran Tanah Studi
Kasus di Sumatra Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (1998)
disebutkan istilah untuk menyebut ulayat adalah “Ulayaik” yang berasal dari bahasa arab “Wilayatun” ang artinya wilayah kekuasaan, dengan demikian makna
ulayat baru dipahami kalau sudah dihubungkan dengan kata lain, misalnya hak ulayat, tanah ulayat, ulayat nagari, ulayat
kaum dan sebagainya, (1998,I:85). Karena itu dalam laporan tersebut
disbutkan “hak Ulayat” yang
dirumuskan sebagai seperangkat kewenangan yang dipunyai oleh suatu persekutuan
hukum adat untuk mengurus dan mengatur seluruh tanah (termasuk danau, laut,
sungai, dan sebagainya) yang berda dalam wilayah batas persekutuan (1998,I:78)
dan tanah ulayat dirumuskan sebagai Tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat, jadi
merupakan obyek dari hak ulayat (1998,I:48).
Pada bagian lain dari laporan tersebut dikemukakan
bahwa “ulayat” dalam bahasa aslinya
(bahasa Minang), berarti wilayah itu sebabnya Prof. Mohamad Koesnoe (1928-1998)
mengartikan hak ulayat sebagai “lingkungan dimana sesuatu masyarakat hukum
berfungsi sebagai suatu masyarakat dengan pemerintahanna secara mandiri
(1998,II:3). Hal ini adalah sejalan dengan pendapat Prof. Soerjono Soekanto
(1942-1990) yang mengartikan ulayat secara
singkat dengan lingkungan penguasaan dan pemilikan ( Soekanto, 1978:245).
Selanjutnya Djamanat Samosir, mengemukakan bahwa
istilah hak ulayat terdiri dari dua
kata, yakni kata “hak” dan “Ulayat” secara etimologi kata ulayat identic dengan
arti wilayah kawasan,marga dan negari. Kata “hak” mempunyai arti (yang) benar,
milik (kepunaan, kemenangan, kekuasan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang
benar atau untuk menuntut suatu derajat atau mertabat. Kata “hak” diartikan
peranan bagi seseoarang atau pihak untuk bertindak atas sesuatu menjadi objek
dari haknya. Kata ”wewenang” berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak,
kewengan, kekuasan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan
tanggungjawab kepada orang lain, kata “wilayah” berarti daerah (kekuasaan,
pemerintahan, penguasan, dan sebagainya). Lingkungan daerah (kabupaten dan
kewedanaan) (Samosir,2013:103).
Selanjutnya penulis mengutip pendapat Moh. Koesnoe
yang menyatakan bahwa perktaan “ulayat” padadasarnya berarti suatu lingkungan
tanah yang berada dalam kekuasanna ang sah suatu persekutuan. Setiap linkungan
ulayat selalu meliputi 3 (tiga) bagian pokok, yaitu (a) lingkungan sebagai
pusat perskutuan; (b) lingkungan usaha para warga, berupa sawa, kebun, ladang,
hutan, dan (c) lingkungan tanah persediaan, secara harfiah hak ulayat di
artikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan
wilayah/daerah tertentu untuk menguasai dalam artinya mengambil dan
memanfaatkan tanah untuk kepentingan masyrakat hukum dan anggota-anggotanya
(Samosir,2010:103).
Lebih lanjut, Husen Alting dalam H. abdulrachman
menulis bahwa secara historis, asal usul konsepsi hak ulayat bersumber pada
aspek kebudayaan pada masyrakat melayu ang memiliki landasan-landasan dalam
masyarakat bersangkutan pada hari itu. Secra konseptual, hak ulayat hanya
dimiliki oleh masyarakat yang berklen (clan) dan masyarakat yang bersistem
kekerabatan unilateral (sitem gabungan antara system materilinal dengan system
patrilineal). Landasan-landasan kekerabatan tersebut memunculkan pengertian
“hak ulayat”. Dalam pengertian ekstensif, tanah ulayat pda dasarnya
berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis, lalu
sebagai sumber dana untuk menyelenggarakan hajatan adat (tuntutan adat). Dengan
demikian, pengertian hak ulayat menurut konsepsi hukum adat adalah hak yang
dimiliki oleh suatu klen/kerabat masyarakat adat dalam satu satuan hukum adat
(Alting,2010:49).
Kemudian secara menarik ia mengutip pendapat F. D. Holleman
(het adatrecht van ambon en de oeliasers,
1923) yang menyatakan hak pertuanan sebagai cat (warna) dasar sebuah
lukisan. Segaka jenis hak atas tanah yang bertumpuh diatasnya dimisalkan
sebagai wrna luar dan nyata sekali terhadap wrna dasar. Hakpertuanan adalah
fondasi bagi semua hak-hak luar biasa, maka hak-hak luar biasa melentur, maka
hak pertuanan akan Nampak sekali,sebaliknya jika tidak ada hak-hak luar biasa
diatasnya maka hak pertuanan akan nampak secara penuh, selain itu Alting
mengutip pandangan Fakultas Hukum UGM dalam laporan penelitian inegrasi hak ulayat kedalam yurisprudensi UUPA (1978)
yang melihat hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat
sebagai kompetensi has pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan
mengurus dan mengatur tanah dan seisinya dengan daya laku kedalam dan keluar (
Alting,2010:31).
Selanjutna perlu dipertimbangkan beberapa pendapat
tentang hak ulayat ini. Pakar hukum adat Prof. Soekanto (1905-1961) melukiskan
hal tersebut dalam bukunya “meninjau hukum adat Indonesia” (1954) dengan
menyatakan diman terdapat persekutuan hidup, disitu ada hubungan antra
persekutuan dengan tanah yang didudukinya. Hubungan ini terjadi oleh karena
tanah itu memberikan penghidupan, oleh kerena itu tanah itu memberi tempat pada
warga persekutuan yang meninggal dunia, oleh karena tanah dan pohon-pohonnya
memeberi tempat kepada lelembut-lelembut yang melindungi persekutuan itu.
Persekutuan itu mempunyai hak untuk menguasai tanah ang didudukinya, ha katas pohon-pohon,
tebat dan lain-lain dalam suatu wilayah penguasaan (beschikkings kring) bagi warganya dan juga bagi orang luar (gemeenschaps vreemde) yang membaar pancang (terebutie). Hak ini disebut oleh Van Vollenhoven “bestchikingsrecht” persekutuan itu (Soekanto,
1981:91-92).
Pemikiran ang senada dikemukakan juga oleh pakar hukum
adat yang lain, Prof. Moh. Koesnoe (1928-1998) bahwa hubungan antara suatu
kelompok orang-orang yang merupakn suatu persukutuan di atas tanah tersebut di
pandang sebagai hubungan yang kekal dan mantap. Di dalam hukum adat hubungan
itu ada pula dan diterima sebagai hubungan hukum. Artinya hubungan itu
akibat-akibatnya diatur, ditentukan di pertahankan oleh hukum i.c. hukum adat.
Eksistensinya hubungan hukum tersebut berada alam metafisis. Dan itu menrut
hukum adat, lingkungan tanah yang dikuasai ole suatu kelompok orang yang
merupakan persekutuan hukum adat adalah hak persekutuan itu yang tidak dapat
diganggu gugat. Isi hak terseut adalah hak untuk menguasai sepenuhnya dan
menikmatinya dengan sebaik-baiknya untuk kelangsungan hidup yang sejahtera lahir dan batin dari kelompok beserta
anggotanya. Hak semacam itu di dalam lingkungan hukum adat diberi sebutan yang
bermacam-macam. Di antaranya yang terkenal ialah sebutan “ulayat” adalah hak persekutuan menguasai suatu lingkungan tanah
untuk hidupnya dan kelangsungan hidup persekutuan dan para anggotanya secaranya
aman dan sejahtera (Koesnoe,1995:23).
Pandangan berikutnya adalah dari Prof. Boedi Harsono
(1922-2011) yang juga disebut “bapak hukum tanah nasional” atau “bapak hukum
agraria” dalam bukuna mengungkapkan pandangan bahwa hak ulayatmerupakan
seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sebagaimana
telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut da yang termasuk bidang
hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah
tersebut. Ada juga yang termasuk hukum public berupa tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin, penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan
penggunaannya. Hak ulayat meliputih
semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang
bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam
lingkungan hak ulayat tidak ada tanah
sebagai “Resnollius”. Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari
seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat
bukan orang seorang. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar,
berhubungan dengan para warganya.
Berdasarkan beberapa uraiakan ang telah dikemukakan di
atas, menjelang awal reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku
Lembaga Tinggi Negara melangsungksn sidang istimewah (10-13 November 1998) yang
menghasilkan beberapa ketetapan dan satu diantaranya Ketetapan No.XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia yang memuat “Piagam Hak Asasi Manusia”. Pasal 41
Piagam tersebut berbunyi: “identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman”.
Sebagai tindaklanjutnya pada tanggal 23 September 1999
ditetapkan Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia (LN tahun
1999 No.165). pasal 6 Undang-undang ini menyebutkan:
(1)
Dalam rangka
penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalm masyarakat hukum adat
harus diperhatikan dan dilindungi hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2)
Identitas
budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat di lindungi,
selaras dengan perkebangan jaman.
Selanjutnya penjelasan pasal 6 Undang-undang No. 39
tahun1999 (TLN NO.3886) menyatakan:
Ayat (1) hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi dal lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalm
mayarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2) dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang secara nyata
dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dilindungi
sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara hukum ang berintikan
keadialan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam persidangan berikutnya Lembaga Tinggi Negara ini
melakukan beberapa kali persidangan dengan dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 seperti pasal 18
B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3). Adanya berbagai ketentuan yang mengatur
tentang Hak Ulayat adalah merupakan wujud pengakuan dan perlindungan hak ulayat
dalam pelaksanaan pembangunan Nasional yang ditetapkan dalam era reformasi.
Semua ini adalh berinduk pada apa yang ditetapkan dalam konstitusi. Ada
beberapa ketentuan dal UUD 1945 yang dijadikan rujukan yaitu:
1.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dibergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2.
Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-undang.
3.
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan perdaban.
Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah merupakan
ketentuan pasal yang sudah ada sejak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945
sedang pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) adalah merupakan ketentuan
hasil amandemen UUD 1945 yang kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
Ketentuan yang secara langsung bekaitan dengan pengakuan dan perlindungan Hak
Ulayat adalah pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan ketentuan in menghendaki
penagturan lebih lanjut dengan Undang-undang. Pada saat sekarang undang-undang
dimaksud sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu Racangan
Undang-undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
disamping Rancangan Undang-undang Pertanahan yang memberikan pengaturan Hak
Ulayat di maksud.
Ketentuan Pasal 18 B aat (2) UUD 1945 adalah termasuk
dalam Bab tentang Pemerintahan daerah. Pada pembuatannya dalam UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan daerah, ketentuan ini belum dijabarkan. Pasal 2 ayat
(9) hana memberikan penegasan pengulangan dan ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang
menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI.
UU No.5 tahun 1960, tentang Agraria, juga memberikan
pengakuan terhadap keberadaan masarakat hukum adat walaupun belum diwujudkan
sepenuhna dalam masarakat. Prinsip utama yang mendasari UU ini adalah bahwa
bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekaaan alam yang terkandung didalamna dikuasai oleh Negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakat (Pasal 2 ayat 1).
Selanjutna dalam Pasal 5 UU No.41 tentang Kehutanan,
ditentukan bahwa:
(1)
Hutan berdasarkan statusna terdiri atas:
a.
Hutan Negara; dan
b.
Hutan hak.
(2)
Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada aat (1) huruf a dapat berupa hutan adat.
(3)
Pemerintah
menetapkan status sebagaimana dimaksud apada ayat (1) dan ayat (2) dan hutan
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataana masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4)
Apabila dalam
perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak lagi ada, maka hak
pengelolaan hutan adat kembalim kepada pemerintah.
Dalam UU No 41 Tahun 1999, pula dalam Bab IX mengatur tentang Masyarakat Hukum adat yang
di dalamna menetapkan:
(1)
Masarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a.
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan
b.
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU;
c.
Mendapatkan pemberdaaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
(2)
Pengukuhan
keberadaan dan hapusna masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(3)
Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Mengenai pengertian masyarakat hukum adat, dalam
penjelasan Pasal 67 aat (1) disebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya jika menurut kenyataanna memenuhi unsur-unsur:
a.
Masyarakatna dalam bentuk paguyuban
b.
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c.
Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan
adat yang masih ditaati;
d.
Masih mengadakakan pemungutan hasil hutan dan wilaah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari..
Dari beberapa UU yang telah disebutkan di atas,
menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulyat diakui
keberadanya, olehnya itu semua warga Negara termasuk pemerintah Pusat maupun
Daerah dapat mengimplementasikan setiap dalam kebijakannya.
Videos on youtube
BalasHapusVideos on youtube · YouTube videos of celebrities with celebrity gear, videos, and music. YouTube · Videos on youtube · Videos on youtube youtube downloader · Videos on youtube · Videos on youtube · Videos