Rabu, 11 November 2015

HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA



HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
0leh: Zoul_zull
Pakar hukum adat yang juga biasa disebut “vader van het Indonesia Adatrecht” atau “Bapak Hukum Adat Indonesia” Prof. Mr.C. Van Vollenhoven (1874-1933) sekitar delapan puluh tahun yang lampau mengungkapkan dalam bukunya “De Indonesia en zijn Grond” (Orang Indonesia dan Tanahnya) (1932) persoalan dasar tentang Hak Ulayat yang disebutnya dengan istilah “beschikkingsrecht” sebagai berikut:
“Dit “beschikkingsrecht” – het word in technischen zin gonomen, als eigen “rechts benaming” – waar voor, ook in zijn invloed  op bouwvelden, het material volop is aangedagen is weer in eer niets in ons burgerlijk wetboek noch met ons recht van heerschappij vergerlijkbaar, maar is voor der ganschen archipel het hooqssterecht ten aanzien van groud. Hetkomtre aan een stam, een dorpenbond of – meestal – een dorp (nooit aan een individu)” (Vollenhoven, 1932:9)”
Secara umum pernyataan tersebut menggambarkan bahwa “Hak Ulayat” atau “beschikkingsrecht” (Hak Penguasaan) sebagai istilah teknis yang dipergunakan sebagai istilah hukum untuk menyebut tanah-tanah pertanian tetapi istilah ini tidak ditemukan dalam Kitap Undang-undang Hukum Perdata (BW), juga tidak dapat disamakan dengan “recht van heerschappi” (Hak Pertuanan) di Negara Barat. Namun diseluruh kepulauan Indonesia hak itu merupankan hak yang tertinggi atas tanah. Hak itu dipunyai oleh suatu suku (stam) atau oleh sebuah dorpenboud (gabungan desa) namun biasanya hanya oleh sebuah desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh orang perorangan.
Di kalangan para ilmuwan istilah hak ulayat atau beschikkingsrecht diterjemahkan dengan beberapa istilah yang berbeda-beda. Prof. Notonegoro menggunakan istilah “ Hak menguasai”, Prof. Soepomo menggunakan istilah “Hak pertuanan” dan Prof. Djojodigoeno menggunakan istilah “Hak puba” tetapi dalam peraturan perundangan umumna digunakan istilah “Hak Ulayat”.
Pakar  Hukum Adat Prof. Soekanto (1905-1961) dengan mengutip tulisan Ter Haar “beginselen en stelsel Van het Adatrecht” mengemukakan bahwa terminology “beschikkingsrecht” itu tidak ada dalam bahasa-bahasa di Indonesia, akan tetapi sebutan wilayah yang dikuasai (“beschikkingsrecht”) ada,meski pun tidak begitu tepat, misalnya petuanan (Ambon), Panyampeto (Kalimantan), Pawasatan  (Kalimantan) Wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), Ulayat (Minangkabau). Kemudian dia mengutip pendapat Van Hinloopen Labberten dalam bukunya (“Distionaire de termes de droit coutumier Indonesia” hal. 506) hak ulayat adalah “beschikkingsrecht  op den ground en het water (“hak penguasaan terhadap tanah dan air”) (Soekanto, 1981:92).
Sedangkan Husen Alting, dalam H. Abdulrachman,  mengemukakan bahwa hukum adat tidak memberikan nama terhadap istilah ulayat, namun hanya menunjukan tanah wilayah sebagai kepunyaan. Pada beberapa  daerah digunakan istilah pertuanan - Ambon (tanah wilayah sebagai kepunyaan) panyampeto Kalimantan (tempat yang memberi makan). Pewatasan – Kalimantan, Wewengkon – Jawa, Prabumian – Bali, (sebagai daerah yang dibatasi), atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain, misalnya  tatabuan-Bolaang di mangondow, selain itu juga dikenal pada beberapa daerah hak tanah yang hamper sama seperti Torlok-Angkola, Limpo-Sulawesi Selatan, Muru-Buru, Payar-Bali, Paer-Lombong dan Ulayat-Minangkabau. Sedangkan di Maluku Utara dikenal dengan abacocato-Ternate/Jailolo (tanah sultan, tanah suku, tanah bagi orang-orang tertentu) penggunaan istilah yang berbeda-beda tersebut tidak bias lepas dari hukum adat yang berlaku didaerah masing-masing di Indonesia, karna pada dasarnya hak  ulayat  merupakan hak penguasaan tertinggi atas tanah dalam hukum adat (Alting, 2010:50).
Istilah hak ulayat sebagai ha katas tanah pada mulanya digunakan dan popular di minangkabau (Sumatra Barat), tetapi kemudian digunakan pula diberbagai daerah di Indonesia terutama setelah berlakuna Undang-undang no. 5 tahun1960 tentang ketentuan Pokok Agraria yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960.
Dalam laporan penelitian “Indonesia Land Administration Project Costomary (Adat) Land Righ Studies tentang Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan problema Pendaftaran Tanah Studi Kasus di Sumatra Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (1998) disebutkan istilah untuk menyebut ulayat adalah “Ulayaik” yang berasal dari bahasa arab  Wilayatun” ang artinya wilayah kekuasaan, dengan demikian makna ulayat baru dipahami kalau sudah dihubungkan dengan kata lain, misalnya hak ulayat, tanah ulayat, ulayat nagari, ulayat kaum dan sebagainya, (1998,I:85). Karena itu dalam laporan tersebut disbutkan “hak Ulayat” yang dirumuskan sebagai seperangkat kewenangan yang dipunyai oleh suatu persekutuan hukum adat untuk mengurus dan mengatur seluruh tanah (termasuk danau, laut, sungai, dan sebagainya) yang berda dalam wilayah batas persekutuan (1998,I:78) dan tanah ulayat dirumuskan sebagai Tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat, jadi merupakan obyek dari hak  ulayat (1998,I:48).
Pada bagian lain dari laporan tersebut dikemukakan bahwa “ulayat” dalam bahasa aslinya (bahasa Minang), berarti wilayah itu sebabnya Prof. Mohamad Koesnoe (1928-1998) mengartikan hak ulayat sebagai “lingkungan dimana sesuatu masyarakat hukum berfungsi sebagai suatu masyarakat dengan pemerintahanna secara mandiri (1998,II:3). Hal ini adalah sejalan dengan pendapat Prof. Soerjono Soekanto (1942-1990) yang mengartikan ulayat secara singkat dengan lingkungan penguasaan dan pemilikan ( Soekanto, 1978:245).
Selanjutnya Djamanat Samosir, mengemukakan bahwa istilah hak ulayat terdiri dari dua kata, yakni kata “hak” dan “Ulayat” secara etimologi kata ulayat identic dengan arti wilayah kawasan,marga dan negari. Kata “hak” mempunyai arti (yang) benar, milik (kepunaan, kemenangan, kekuasan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atau untuk menuntut suatu derajat atau mertabat. Kata “hak” diartikan peranan bagi seseoarang atau pihak untuk bertindak atas sesuatu menjadi objek dari haknya. Kata ”wewenang” berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak, kewengan, kekuasan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain, kata “wilayah” berarti daerah (kekuasaan, pemerintahan, penguasan, dan sebagainya). Lingkungan daerah (kabupaten dan kewedanaan) (Samosir,2013:103).
Selanjutnya penulis mengutip pendapat Moh. Koesnoe yang menyatakan bahwa perktaan “ulayat” padadasarnya berarti suatu lingkungan tanah yang berada dalam kekuasanna ang sah suatu persekutuan. Setiap linkungan ulayat selalu meliputi 3 (tiga) bagian pokok, yaitu (a) lingkungan sebagai pusat perskutuan; (b) lingkungan usaha para warga, berupa sawa, kebun, ladang, hutan, dan (c) lingkungan tanah persediaan, secara harfiah hak ulayat di artikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan wilayah/daerah tertentu untuk menguasai dalam artinya mengambil dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan masyrakat hukum dan anggota-anggotanya (Samosir,2010:103).
Lebih lanjut, Husen Alting dalam H. abdulrachman menulis bahwa secara historis, asal usul konsepsi hak ulayat bersumber pada aspek kebudayaan pada masyrakat melayu ang memiliki landasan-landasan dalam masyarakat bersangkutan pada hari itu. Secra konseptual, hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat yang berklen (clan) dan masyarakat yang bersistem kekerabatan unilateral (sitem gabungan antara system materilinal dengan system patrilineal). Landasan-landasan kekerabatan tersebut memunculkan pengertian “hak ulayat”. Dalam pengertian ekstensif, tanah ulayat  pda dasarnya berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis, lalu sebagai sumber dana untuk menyelenggarakan  hajatan adat (tuntutan adat). Dengan demikian, pengertian hak ulayat menurut konsepsi hukum adat adalah hak yang dimiliki oleh suatu klen/kerabat masyarakat adat dalam satu satuan hukum adat (Alting,2010:49).
Kemudian secara menarik ia mengutip pendapat F. D. Holleman (het adatrecht van ambon en de oeliasers, 1923) yang menyatakan hak pertuanan sebagai cat (warna) dasar sebuah lukisan. Segaka jenis hak atas tanah yang bertumpuh diatasnya dimisalkan sebagai wrna luar dan nyata sekali terhadap wrna dasar. Hakpertuanan adalah fondasi bagi semua hak-hak luar biasa, maka hak-hak luar biasa melentur, maka hak pertuanan akan Nampak sekali,sebaliknya jika tidak ada hak-hak luar biasa diatasnya maka hak pertuanan akan nampak secara penuh, selain itu Alting mengutip pandangan Fakultas Hukum UGM dalam laporan penelitian inegrasi hak ulayat kedalam yurisprudensi UUPA (1978) yang melihat hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi has pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah dan seisinya dengan daya laku kedalam dan keluar ( Alting,2010:31).
Selanjutna perlu dipertimbangkan beberapa pendapat tentang hak ulayat ini. Pakar hukum adat Prof. Soekanto (1905-1961) melukiskan hal tersebut dalam bukunya “meninjau hukum adat Indonesia” (1954) dengan menyatakan diman terdapat persekutuan hidup, disitu ada hubungan antra persekutuan dengan tanah yang didudukinya. Hubungan ini terjadi oleh karena tanah itu memberikan penghidupan, oleh kerena itu tanah itu memberi tempat pada warga persekutuan yang meninggal dunia, oleh karena tanah dan pohon-pohonnya memeberi tempat kepada lelembut-lelembut yang melindungi persekutuan itu. Persekutuan itu mempunyai hak untuk menguasai tanah ang didudukinya, ha katas pohon-pohon, tebat dan lain-lain dalam suatu wilayah penguasaan (beschikkings kring) bagi warganya dan juga bagi orang luar (gemeenschaps vreemde)  yang membaar pancang (terebutie). Hak ini disebut oleh Van Vollenhoven “bestchikingsrecht” persekutuan itu (Soekanto, 1981:91-92).
Pemikiran ang senada dikemukakan juga oleh pakar hukum adat yang lain, Prof. Moh. Koesnoe (1928-1998) bahwa hubungan antara suatu kelompok orang-orang yang merupakn suatu persukutuan di atas tanah tersebut di pandang sebagai hubungan yang kekal dan mantap. Di dalam hukum adat hubungan itu ada pula dan diterima sebagai hubungan hukum. Artinya hubungan itu akibat-akibatnya diatur, ditentukan di pertahankan oleh hukum i.c. hukum adat. Eksistensinya hubungan hukum tersebut berada alam metafisis. Dan itu menrut hukum adat, lingkungan tanah yang dikuasai ole suatu kelompok orang yang merupakan persekutuan hukum adat adalah hak persekutuan itu yang tidak dapat diganggu gugat. Isi hak terseut adalah hak untuk menguasai sepenuhnya dan menikmatinya dengan sebaik-baiknya untuk kelangsungan hidup yang sejahtera  lahir dan batin dari kelompok beserta anggotanya. Hak semacam itu di dalam lingkungan hukum adat diberi sebutan yang bermacam-macam. Di antaranya yang terkenal ialah sebutan “ulayat” adalah hak persekutuan menguasai suatu lingkungan tanah untuk hidupnya dan kelangsungan hidup persekutuan dan para anggotanya secaranya aman dan sejahtera (Koesnoe,1995:23).
Pandangan berikutnya adalah dari Prof. Boedi Harsono (1922-2011) yang juga disebut “bapak hukum tanah nasional” atau “bapak hukum agraria” dalam bukuna mengungkapkan pandangan bahwa hak ulayatmerupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut da yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum public berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin, penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya. Hak ulayat meliputih semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “Resnollius”.  Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat bukan orang seorang. Hak  ulayat  mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar, berhubungan dengan para warganya.
Berdasarkan beberapa uraiakan ang telah dikemukakan di atas, menjelang awal reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku Lembaga Tinggi Negara melangsungksn sidang istimewah (10-13 November 1998) yang menghasilkan beberapa ketetapan dan satu diantaranya Ketetapan No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat “Piagam Hak Asasi Manusia”. Pasal 41 Piagam tersebut berbunyi: “identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman”.
Sebagai tindaklanjutnya pada tanggal 23 September 1999 ditetapkan Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia (LN tahun 1999 No.165). pasal 6 Undang-undang ini menyebutkan:
(1)   Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalm masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2)   Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat di lindungi, selaras dengan perkebangan jaman.
Selanjutnya penjelasan pasal 6 Undang-undang No. 39 tahun1999 (TLN NO.3886) menyatakan:
Ayat (1) hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi dal lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalm mayarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara hukum ang berintikan keadialan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam persidangan berikutnya Lembaga Tinggi Negara ini melakukan beberapa kali persidangan dengan dengan melakukan  amandemen terhadap UUD 1945 seperti pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3). Adanya berbagai ketentuan yang mengatur tentang Hak Ulayat adalah merupakan wujud pengakuan dan perlindungan hak ulayat dalam pelaksanaan pembangunan Nasional yang ditetapkan dalam era reformasi. Semua ini adalh berinduk pada apa yang ditetapkan dalam konstitusi. Ada beberapa ketentuan dal UUD 1945 yang dijadikan rujukan yaitu:
1.     Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dibergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.     Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
3.     Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan perdaban.
Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah merupakan ketentuan pasal yang sudah ada sejak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sedang pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) adalah merupakan ketentuan hasil amandemen UUD 1945 yang kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Ketentuan yang secara langsung bekaitan dengan pengakuan dan perlindungan Hak Ulayat adalah pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan ketentuan in menghendaki penagturan lebih lanjut dengan Undang-undang. Pada saat sekarang undang-undang dimaksud sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu Racangan Undang-undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat disamping Rancangan Undang-undang Pertanahan yang memberikan pengaturan Hak Ulayat di maksud.
Ketentuan Pasal 18 B aat (2) UUD 1945 adalah termasuk dalam Bab tentang Pemerintahan daerah. Pada pembuatannya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, ketentuan ini belum dijabarkan. Pasal 2 ayat (9) hana memberikan penegasan pengulangan dan ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
UU No.5 tahun 1960, tentang Agraria, juga memberikan pengakuan terhadap keberadaan masarakat hukum adat walaupun belum diwujudkan sepenuhna dalam masarakat. Prinsip utama yang mendasari UU ini adalah bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekaaan alam yang terkandung  didalamna dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakat (Pasal 2 ayat 1).
Selanjutna dalam Pasal 5 UU No.41 tentang Kehutanan, ditentukan bahwa:
(1)  Hutan berdasarkan statusna terdiri atas:
a.   Hutan Negara; dan
b.   Hutan hak.
(2)  Hutan negara sebagaimana dimaksud pada aat (1) huruf a dapat berupa hutan adat.
(3)  Pemerintah menetapkan status sebagaimana dimaksud apada ayat (1) dan ayat (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataana masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4)  Apabila dalam perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak lagi ada, maka hak pengelolaan hutan adat kembalim kepada pemerintah.
Dalam UU No 41 Tahun 1999, pula dalam Bab IX  mengatur tentang Masyarakat Hukum adat yang di dalamna menetapkan:
(1)  Masarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a.     Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan
b.     Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU;
c.     Mendapatkan pemberdaaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2)  Pengukuhan keberadaan dan hapusna masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(3)  Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Mengenai pengertian masyarakat hukum adat, dalam penjelasan Pasal 67 aat (1) disebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataanna memenuhi unsur-unsur:
a.    Masyarakatna dalam bentuk paguyuban
b.   Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.    Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat  yang masih ditaati;
d.   Masih mengadakakan pemungutan hasil hutan dan wilaah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari..
Dari beberapa UU yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulyat diakui keberadanya, olehnya itu semua warga Negara termasuk pemerintah Pusat maupun Daerah dapat mengimplementasikan setiap dalam kebijakannya.

1 komentar:

  1. Videos on youtube
    Videos on youtube · YouTube videos of celebrities with celebrity gear, videos, and music. YouTube · Videos on youtube · Videos on youtube youtube downloader · Videos on youtube · Videos on youtube · Videos

    BalasHapus