Minggu, 29 November 2015

OBJEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KORUPSI

OBJEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KORUPSI 

 29/11/2015
Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, namun kejahatan tidak pernah sirna dari muka bumi, bahkan semakin meningkat seiring dengan cara hidup manusia dan perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya pola dan ragam kejahatan yang muncul. Keadaan ini mendorong diusahakannya berbagai alternatif untuk mengatasi kejahatan tersebut yang salah satunya dengan menumbuhkan aturan hukum pidana khusus untuk mendukung pelaksanaan dari hukum pidana umum, salah satu kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana diantaranya adalah kejahatan korupsi.
Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah di sebutkan dalam alenia di atas. Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[1]
Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini disebabkan penegakan hukum terhadap korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law atau pun juastice for all akan dipercaya sebagai sebuah sekedar mitos belaka dan dalam praktek yang banyak dilihat dan dirasakan adalah sebaliknya justice not for all.[2]
Dalam usaha penegakan hukum terhadap korupsi ini sosiologi hukum juga berperan penting dalam mewujudkan masyarakat dan negara yang terbebas dari tindak kejahatan korupsi yang merugikan rakyat Indonesia ini. Peluang korupsi ketika pejabat publik menggunakan wewenangnya untuk mengambil aset negara. Oleh karena itu harus ditangani lebih efektif, tanggap, sigap dan cepat karena korupsi di Indonesia sangat kompleks serta membutuhkan strategi maupun karakter manusia jujur yang kuat tahan banting dan mampu berbuat adil.
Berdasarkan landasan pemikiran uraian di atas, maka ruang lingkup permasalahan dalam penulisan ini adalah Bagaimana Efektivitas Penegakan Hukum  Terhadap Korupsi Oleh Lembaga Yang Berwewenang ?

A.      Pengertian Penagakan Hukum Terhadap  Korupsi.
Penegakan hukum; dalam bahasa belanda disebut dengan rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law enforcement, meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukuma tetap.[3]
Penegakan hukum oleh Suparman Marzuki mengatakan; Penegakan hukum itu tidak berada di ruang vakum atau kekosongan social, tetapi berada dan dihadapkan kepada kenyataan social yang kompleks. Penegakan hukum mengandung pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan.
Karakteristik yang mencolok dalam pembicaraan mengenai penegakan hukum dalam perspektif sosiologi hukum adalah bahwa penegakan hukum itu bukan merupakan sesuatu yang tidak pasti, yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik.
Dalam ilmu hukum cara seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakkan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini hukum dilihat sebagai variable yang jelas dan pasti, demikian pula kejadian yang memancing diterapkannya hukum tersebut, sehingga semuannya tampak sederhana. Dalam kenyataan keadaan adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif, kompleksitas tersebut diabaikan sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empiric sama sekali tak dapat mengabaikannya. Seprti yang dikatakan Suparman Marzuki pengenai penegakan hukum sebelumnya.
pandangan Marc Galanter, penegakan hukum berangkat dari kenyataan di lapangan dan melihat apa yang ada dalam kenyataan itu sebagai yang kompleks yang harus dilihat dari sudut yang lain. Kemudian Marc Galanter mempunyai istilah yang bagus untuk menggambarkan cara kerja sosiologi hukum, yaitu melihat hukum “dari ujung teleskop yang lain” (from the other end of the telescop). Dikatakan Galanter bahwa kebiasan berfikir hukum normativ yang dominan, yaitu berfikir positivistik-logalistik, berangkat dari peraturan hukumnya. Ini berbeda dengan sosiologi hukum yang berangkat dari kenyataan di lapangan, yaitu melihat apa berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaiman kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari “ujung yang lain dari teleskop”. Maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis-universal, melainkan variable.
Suparman Marzuki dalam tulisannya; bahwa menerima undang-undang atau aturan hukum begitu saja tanpa mengamati kenataan tentang bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan-kemauan hukum (UU) itu dijalankan, sama artinya dengan membuat mitos tentang hukum.
Penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variable yang mengkait faktor-faktor manusia, institusi, politik, budaya, peristiwa dan hukum itu sendiri sebagai bagian dari system hukum yang berlaku, yang tidak terpisahkan dalam memahami penegakan hukum.
Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK).
Korupsi; Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “ corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, yang  selanjutnya  disebutkan  bahwa  curruptio  itu  berasal  pula  dari  kata  asal corrumpere, suatu kata  dalam bahasa  Latin yang  lebih tua.  Dari bahasa  Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa  seperti Inggris, yaitu  corruption,  corrupt; Belanda,  yaitu  corruptive (korruptie),  dapat  atau  patut  diduga  bahwa  istilah korupsi  berasal  dari  bahasa  Belanda  dan  menjadi  bahasa  Indonesia,  yaitu “korupsi”,  yang  mengandung  arti  perbuatan  korup,  penyuapan.[4]
Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[5]
Artinya secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.[6] Lebih jauh tipe-tipe korupsi dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut:[7]
1.    Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang
2.    Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan
3.    Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
4.    Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran hukum
5.    Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan
6.    Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan politik atau masyarakat umum
7.    Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31  Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak  pidana korupsi, memuat pengertian korupsi yang hampir identik dengan pengertian tindak pidana korupsi, yaitu: “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan  yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang biasa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.        Kerugian keuangan Negara
2.        Suap-menyuap
3.        Penggelapan dalam jabatan
4.        Pemerasan
5.        Perbuatan curang
6.        Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.        gratifikasi
Menurut Robert Klitgaard korupsi adalah “ Suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluargadekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moralmenurut pandangan umum.[8]
Efektivitas Penegakan Hukum  Terhadap Korupsi Oleh Lembaga Yang Berwewenang ?
korupsi bukan hanya musuh rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi musuh umat manusia sedunia. Gerakan dunia melawan korupsi pun makin gencar dilakukan. Korupsi menghambat bangsa menuju bangsa yang makin adil, demokratis, dan sejahtera.
Khusus dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK).
Dalam perspektif hukum pidana positif adalah terkait objektivitas penegakan hukum pidana itu sendiri. Artinya, perbuatan-perbuatan yang dilanggar dalam hukum pidana materiil harus dapat dikenakan tindakan oleh Negara. Aparat penegak hukum yang bertugas menegakan hukum pidana positif dari segi suprastruktur maupun dari segi infrastruktur telah memadai. Dari segi suprastruktur artinya institusi tersebut telah mapan dan dilengkapi oleh tugas kewajiban serta kewenangan menurut undang-undang, sedangkan dari segi infrastruktur berarti sarana dan prasarana untuk bekerjanya aparat penegak hukum telah tersedia.[9]
Berbicara mengenai efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi, berarti membahas mengenai kinerja institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).  Dalam Penegak hukum. Pada periode 2005-2011, kepolisian tercatat menangani 1.961 perkara, dengan keuangan negara yang diselamatkan Rp 679 miliar. Periode 2004-2011, kejaksaan menangani 8.394 perkara, 6.831 di antaranya dilanjutkan ke penuntutan. Periode itu kejaksaan menyelamatkan keuangan negara lebih dari Rp 13 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada periode 2004-2011 menyelidiki 417 kasus, menyidik 229 kasus, melakukan penuntutan 196 kasus, di mana dari jumlah itu yang sudah inkracht 169 perkara dan yang sudah dieksekusi 171 perkara. Pengembalian uang negara dari kasus yang ditangani KPK mencapai Rp 800 miliar. Selanjutnya, KPK menerima laporan gratifikasi sebanyak 1.301 laporan. Dari program pencegahan, KPK juga menyelamatkan keuangan negara lebih dari Rp 151 triliun dan 321 juta dollar AS.[10]
Berdasarkan data kinerja KPK, selama 10 tahun terakhir ini KPK telah mengungkap 267 kasus  korupsi, yang 228 diantaranya sudah inkracht. Artinya, setiap bulan terungkap rata- rata kasus korupsi besar. Belum lagi kasus korupsi yang diusut dan diungkap oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah juga membuat DPD prihatin. Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni 2013, terdapat 21 Gubernur, 7 Wagub, 156 Bupati, 46 Wabup, 41 Walkot, 20 Wawalkot yang tersangkut kasus hukum dan sebagian besarnya perkara korupsi.
Dari beberapa kasus korupsi yang telah terungkap, itu karena kerja keras yang dilakukan  oleh KPK dan para penyidik, disertai kerjasama antara KPK dan aparat penegak hukum lainnya. Banyak kasus korupsi telah diselesaikan KPK dari tahun ke tahun, selama tiga tahun terakhir, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan yang terjadi ada pada jumlah kasus yang ditangani maupun aktor yang ditetapkan sebagai tersangka. Kasus-kasus atau tersangka-tersangka yang ada sepanjang tahun 2013 mulai dari Januari sampai bulan Desember 2013 ada 1271 tersangka. Ini meningkat dari dua tahun yang lalu. Tahun 2011 yakni 1056 tersangka artinya ada peningkatan dari sisi kuantitas.
Temuan kerugian negara dalam penanganan perkara pemberantasan korupsi baik di KPK,  Kepolisian dan Kejaksaan juga terus mengalami peningkatan selama tiga tahun  terakhir.  Kalau di tahun 2010  kerugian negara Rp  2,1 trilyun. Awal Januari sampai Desember 2013 itu sampai Rp 7,4 trilyun. Bahkan sampai di 2011 sempat mencapai angka Rp 10 trilyun lebih, karena ada kasus century.
Prespektif penanganan perkara baik di KPK, Kepolisian dan kejaksaan meningkat. Selama tahun 2013, KPK telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 1,196 Trilyun.
a.    nama-nama besar yang pernah diseret oleh KPK sejak dibentuk 2002 silam sampai tahun 2014.
Daftar nama-nama
Kasus korupsi
vonis
Irjen Djoko Susilo; bekas kepala korps lalulintas Polri
Proyek simulator ujian surat izin mengemudi
18 tahun oleh Tipikor
Lutfi Hassan Ishaq; saat ditangkap menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Ditahan KPK Januari 2013 dengan dugaan menerima hadiah atau janji terkait dengan pengurusan kuota impor daging pada Kementerian Pertanian
16 tahun penjara
Rudi Rubiandini; mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Migas
Menerima suap dari Kernel Oil senilai US$ 400 ribu

Ratu Atut Chosiyah; gubernur provinsi Banten
Pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten,
Empat tahun penjara
Miranda S. Goeltom; Dirut Bank Indonesia
Menjadi tersangka pada Januari 2012 dalam kasus suap cek pelawat buat anggota DPR
Tiga tahum penjara
Burhanuddin Abdullah; Bekas Gubernur Bank Indonesia (BI)
Oleh Pengadilan Tipikor; menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI
Lima tahun penjara
Aulia Pohan; pernah menjabat Deputi Gubernur BI
Terjerat dalam kasus yang sama dengan Burhanuddin Abdullah
Penjara empat tahun enam bulan
Urip Tri Gunawan; Jaksa Agung
Tertangkap tangan oleh KPK saat menerima duit 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim. Dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
-   Urip divonis 20 tahun penjara
-   Sedangkan Arthalita mendapat vonis 5 tahun penjara
Muhammad Nazaruddin; menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat
Terjerat kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games
Dalam perkembangan kasusnya, pria yang kemudian divonis empat tahun sepuluh bulan penjara ini ikut menyeret nama-nama yang terlibat.
Andi Malarangeng; Menteri Pemuda dan Olahraga
Kasus Hambalang
Kemudian divonis empat tahun penjara oleh Tipikor.
Anas Urbaningrum; menjabat Ketua Umum Partai Demokrat
Kasus yang sama
Kemudian divonis delapan tahun penjara oleh pengadilan
Akil Mochtar; mantan ketua Mahkamah Konstitusi
Menerima suap Rp. 3 miliar dari bupati Gunung Mas dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus sengketa Pilkada
satu-satunya terpidana korupsi yang mendapat vonis seumur hidup dari Tipikor
Suryadharma Ali; Bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Penetapan tersebut diumumkan di tengah sengitnya masa kampanye jelang Pemilihan Umum Kepresidenan 2014.





Tabel: Daftar Tangkapan Terbesar KPK
Dari data yang dimiliki bahwa efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi, dalam hal ini instansi yang diberi kewenangan khususnya KPK dalam penegakannya dijalankan secara adil dan beradab yang bisa dikatakan hasil atau prestasi yang baik dalam penegakan hukum tehadap korupsi.
Namun sebaliknya, Data yang dimiliki Indonesia Corruption Wacht (ICW), tercatat 45 orang pelaku koruptor yang bisa  dikatakan  the  best  koruptor  dari  Indonesia. Yang kerugian Negara macapai dari 20 miliar – 2,659 triliun dan 500 ribu dollar – 126 juta dollar Amerika, dan yang kabur ke luar negeri dan belum kembali ke Indonesia tercatat 32 pelaku koruptor melarikan diri ke Singapura. Ini berarti Singapura  adalah  tujuan  favorit  karena  Indonesia  belum  memiliki  perjanjian  ekstradisi  dengan negara itu. Mereka tidak sudi melakukan perjajian ekstradisi karena para  koruptor aman-aman saja menanamkan uang mereka di sana.[11]
Dari data yang dimiliki ICW, pemberantasan korupsi masih mengalami hambatan koordinasi antarlembaga pemerintahan yang masih lemah, peraturan perundang-undangan yang masih perlu direvisi, rendahnya kapasitas pelaksanaan produk perundang-undangan, serta masih lemahnya kualitas dan kuantitas penegak hukum.
 Bahwa Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu:
a.         Lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.
b.        Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
c.         Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
d.        Minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
e.         Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
f.         Paradigma penegakan hukum masih positivis- legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
g.        Kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Penegakan hukum terhadap korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan pidana  menunjukkan  adanya  persaingan  antara  pihak-pihak  yang  ingin mempertahankan  status  quo  (keadaan  tetap  seperti  semula)  dan  pihak-pihak  yang menghendaki  adanya  upaya  yang  maksimal  dalam  pemberantasan  tindak  pidana korupsi.  Oleh  karena  itu penegakan hukum  terhadap  tindak  pidana  korupsi  terlihat secara  setengah  hati.
Salah  satu  faktor  yang  berperan  cukup  kuat  dalam  penegakan  hukum tindak  pidana  korupsi  adalah  integritas  penegak  hukum.  Namun  demikian kelemahan  integritas  penegakan  hukum  dalam  tindak  pidana  korupsi  ini  tidak berdiri  sendiri.  Kelemahan  penegakan  hukum  ini  harus  dikaji  dari  kelemahan UU, aturan-aturan dan atau sistem  hukum  pidananya.
Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu  sistem hukum  terdapat tiga unsur (three elements of  legal system ) yaitu:
1.        struktur(structure),
2.        substansi (subtance), dan
3.        kultur hukum (legal culture).
Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.
Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi  advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan  terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap korupsi dalam hal ini lembaga hukum yang diberi kewenangan. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
Dalam  hal  substansi  sistem  hukum  perlu  segera  direvisi ataupun diatur berbagai  perangkat peraturan  perundang-undangan  yang  menunjang  proses  penegakan  hukum  di Indonesia. Berkaitan dengan ini Gustav Radbruch dalam Vorschule der Rechtsfilosofie, menyatakan; “Rechtswissenschafts its die wissenschafts von obyektiven sinn des positive rechtsí”. Artinya, ilmu pengetahuan hukum bertujuan untuk mengetahui objektifitas hukum positif. Oleh karna itu, tujuan ilmu hukum menurut Hans Kalsen harus terbebas dari semua idiologi politik menuju perubahan yang lebih baik untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Bila dihubungkan dengan ilmu hukum pidana, maka dapat dikatakan bahwa tujuan ilmu hukum pidana adalah untuk mengetahui objektivitas dari hukum pidana positif. Jika dikaitkan dengan perspektif hukum pidana, dalam konteks teori, objektivitas institusi dalam berperilaku/bertindak dapat dilihat dari substansi hukum pidana positif yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang.[12] Misalnya, peraturan perundang- undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang- undang Hukum Pidana) dan KUHAP  (Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera disele saikan. Kemudian mengatur tentang koruptor yang melarikan diri ke singapura karena belum  memiliki  perjanjian  ekstradisi  dengan negara itu. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Selanjutnya, untuk budaya hukum (legal culture). perlu dikembangkan prilaku taat dan  patuh terhadap  hukum  yang  dimulai  dari  atas  (top  down).  Artinya,  apabila  para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat. Akhirnya, kita berharap agar pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak  berjalan  dengan baik.  Jika  tidak,  bersiap- siaplah  akan  segera  tercipta  suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588- 1679) yaitu masyarakat homo homini lupus bellum omnium contra omnes, artinya; manusia yang satu adalah srigala bagi manusia yang lain.

Penutup
Simpulan
1.        Salah  satu  faktor  yang  berperan  cukup  kuat  dalam  penegakan  hukum tindak  pidana  korupsi  adalah  integritas  penegak  hukum.  Namun  demikian kelemahan  integritas  penegakan  hukum  dalam  tindak  pidana  korupsi  ini  tidak berdiri  sendiri.  Kelemahan  penegakan  hukum  ini  harus  dikaji  dari  kelemahan UU, aturan-aturan dan atau sistem  hukum  pidananya.
2.        Perspektif penanganan perkara baik di KPK, Kepolisian dan kejaksaan meningkat. Selama tahun 2013, KPK telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 1,196 Trilyun. Dari data yang dimiliki bahwa efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi, dalam hal ini instansi yang diberi kewenangan khususnya KPK dalam penegakannya dijalankan secara adil dan beradab yang bisa dikatakan hasil atau prestasi yang baik dalam penegakan hukum tehadap korupsi.
3.        Namun sebaliknya, Data yang dimiliki Indonesia Corruption Wacht (ICW), tercatat 45 orang pelaku koruptor yang bisa  dikatakan  the  best  koruptor  dari  Indonesia. Dan yang kabur ke luar negeri dan belum kembali ke Indonesia tercatat 32 pelaku koruptor melarikan diri ke Singapura. Ini berarti Singapura  adalah  tujuan  favorit  karena  Indonesia  belum  memiliki  perjanjian  ekstradisi  dengan negara itu. Mereka tidak sudi melakukan perjajian ekstradisi karena para  koruptor aman-aman saja menanamkan uang mereka di sana. Jika dilihat dari data yang dimiliki ICW, pemberantasan korupsi masih mengalami hambatan koordinasi antarlembaga pemerintahan yang masih lemah, peraturan perundang-undangan yang masih perlu direvisi, rendahnya kapasitas pelaksanaan produk perundang-undangan, serta masih lemahnya kualitas dan kuantitas penegak hukum.
4.        Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia, yaitu adanya keterjalinan erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses penegakan hukum terhadap tindak pidana koupsi terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif), lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural).
5.        Lebih ditingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum, dan membangun Paradigma  penegakan  hukum  yang  lebih  mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
6.        Memberikan ruang yang seluas-luasnya dalam hal ini masyarakat/LSM untuk berperan serta di dalam pemberantasan korupsi dengan membuka akses informasi – informasi yang dapat memberikan akses bagi masyarakat untuk mengawasi kerja dan kinerja para aparat penegakan hukum yang menangani kasus korupsi tersebut. Di dalam memberikan ruang bagi masyarakat maka perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkait dengan perkara baik sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli harus dilakukan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Chaerudin, Syaiful Ahmad  Dinar,  Syarif  Fadillah,  2008.  Strategi  Pencegahan  Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Editama, Bandung.
Eddy O.S Hiariej (Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum), Prinsip-prinsip Hukum Pidana, (Yogyakata: Cahaya Atma Pustaka, Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014)
Ermansjah Djaja, Penegakan Hukum Dalam Konteks Keberhasilan Peranan KPK Dalam Memberantas Korupsi, oleh Fani Apriliani. Universitas Esa Unggul Jakarta 2014
Evi Hartanty, “Kebijakan Pidana Mati Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Dalam tesis mahasiswa Universitas Sumatera Utara
Fani Apriliani. Penegakan Hukum Dalam Konteks Keberhasilan Peranan KPK Dalam Memberantas Korupsi. Universitas Esa Unggul Jakarta 2014
Komunitas Karang Taruna Sanggaran2.Inilah Daftar Koruptor dan Kasus Korupsi di Indonesia.Posted on Desember 9, 2011
Martiman Prodjohamidjojo. “Kebijakan Pidana Mati Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Dalam tesis mahasiswa Universitas Sumatera Utara
Prof.HJ.SRI Sulistyawati, SH, MSI, P,HD. & Nelvitia Purba,SH,MHUM. Tindak Pidana Korupsi dan Keterkaitannya Dengan Ketahanan Nasional Dalam Rangka Penegakan Hukum Di Indonesia. M.As’ad Djalali,Dunia Pendidikan Sebagai Tumpuan Harapan Untuk Mencegah Korupsi Di Masa Mendatang,21/2/2013
Tri Andrisman Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti.
Tri Andrisman, Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Opini.



[1] Tri Andrisman Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti.
[2] Tri Andrisman, Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Opini, hlm 1

[3] Chaerudin, Syaiful Ahmad  Dinar,  Syarif  Fadillah,  2008.  Strategi  Pencegahan  Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Editama, Bandung, hlm. 87
[4] Ermansjah Djaja, Penegakan Hukum Dalam Konteks Keberhasilan Peranan KPK Dalam Memberantas Korupsi, oleh Fani Apriliani. Universitas Esa Unggul Jakarta 2014
[5] Fani Apriliani. Penegakan Hukum Dalam Konteks Keberhasilan Peranan KPK Dalam Memberantas Korupsi. Universitas Esa Unggul Jakarta 2014
[6] Martiman Prodjohamidjojo. “Kebijakan Pidana Mati Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Dalam tesis mahasiswa Universitas Sumatera Utara
[7] Evi Hartanty, “Kebijakan Pidana Mati Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Dalam tesis mahasiswa Universitas Sumatera Utara
[8] Prof.HJ.SRI Sulistyawati, SH, MSI, P,HD. & Nelvitia Purba,SH,MHUM. Tindak Pidana Korupsi dan Keterkaitannya Dengan Ketahanan Nasional Dalam Rangka Penegakan Hukum Di Indonesia. M.As’ad Djalali,Dunia Pendidikan Sebagai Tumpuan Harapan Untuk Mencegah Korupsi Di Masa Mendatang,21/2/2013
[9] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka. 2014. hlm. 11
[10]Komunitas Karang Taruna Sanggaran2.Inilah Daftar Koruptor dan Kasus Korupsi di Indonesia.Posted on Desember 9, 2011
[12] Eddy O.S Hiariej (Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum), Prinsip-prinsip Hukum Pidana, (Yogyakata: Cahaya Atma Pustaka, Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014) hal. 10-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar